Oleh: MH. Said Abdullah
Mungkinkah di era sekarang pemerintah dapat mengintervensi partai politik (Parpol) melalui kudeta pergantian ketua umum misalnya? Pertanyaan itu belakangan mewarnai jagad media, termasuk pula di media sosial. Ini dipicu pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono bahwa ada yang ingin melakukan kudeta pada Partai Demokrat.
Pernyataan AHY, panggilan akrab putra sulung Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sempat mendapat reaksi langsung bantahan dari Kepala Staff Kepresiden Jendral (Purnawirawan) Moeldoko, sosok yang paling santer dikaitkan dengan isyu kudeta Partai Demokrat. Reaksi tak kalah seru muncul dari beberapa petinggi dan mantan petinggi Partai Demokrat seperti Marzuki Alie dan Max Sopacua.
Rumor pemerintah atau orang-orang pemerintah ikut campur sebenarnya bukan yang pertama kali mencuat ke permukaan. Sempat pula beredar isyu terkait hiruk pikuk kepengurusan di Partai Amanat Nasional, yang belakangan melahirkan partai baru.
Baik dalam kasus Partai Demokrat dan sebelumnya Partai PAN, masyarakat mengetahui sepenuhnya merupakan persoalan internal. Siapapun di era sekarang ini memang tidak selayaknya ikut serta menjadi dan ikut ambil bagian persoalan internal partai. Ini penting ditegaskan agar tidak berkembang kesan seakan kebiasaan di era sebelum reformasi terjadi lagi.
Pernyataan Menko Polkam Mahfud MD bahwa sekarang ini tidak mungkin lagi terjadi kudeta terhadap Parpol memberi penegasan bahwa pemerintah memang tidak lagi memiliki keinginan campur tangan. “Di era demokrasi yang sangat terbuka dan dikontrol oleh masyarakat sulit dipercaya kepemimpinan partai apalagi partai besar seperti Partai Demokrat bisa dikudeta. Jabatan Menteri Koordinator tentu tak bisa digunakan dan pasti tidak laku untuk memberi restu,” jelas Mahfud, yang merespon tentang isyu beberapa menteri merestui Moeldoko.
Apa yang dinyatakan Menko Mahfud MD memang faktual dan merupakan realitas obyektif. Jangankan partai besar, yang kecilpun di era sekarang praktis sangat sulit diintervensi seperti di masa lalu. Bahkan, pemilihan pengurus organisasi sosial kemasyarakatanpun pemerintah tak bisa lagi ikut campur tangan.
Masyarakat negeri ini dapat mencermati dan mengamati secara jernih dalam kasus pembubaran Ormas FPI. Untuk Ormas seperti FPI saja pemerintah perlu pijakan kekuatan hukum kuat untuk membubarkannya. Tidak bisa lagi semena-mena karena dipastikan akan berhadapan reaksi keras masyarakat luas.
Beberapa Parpol sebelumnya di era reformasi memang sempat terjadi riak-riak relatif keras. Ada yang mampu menyelesaikan secara internal seperti Partai Golkar, lalu PPP, yang sudah kembali solid sebagai Partai Politik. Memang, tak semua berjalan mulus. Sempat muncul partai baru, yang lahir dari ketakpuasan para tokohnya. Semua, berproses dalam lingkaran internal partai bersangkutan.
Segala sesuatu di internal Parpol pada akhirnya memang tergantung para pengurus dan kader-kadernya. Jika seluruh kekuatan internal solid serta sepenuhnya mentaati mekanisme proses internal, sehebat apapun kekuatan eksternal, tak akan mampu mengganggu.
Mungkin saja, ada beberapa kader internal Parpor ingin mengajak sosok orang luar untuk tampil sebagai pucuk pimpinan misalnya. Inipun tetap sepenuhnya tergantung dari kesolidan internal dan mekanisme partai bersangkutan.
Rasionalitas dan kometmen mentaati mekanisme aturan internal dari seuruh kepengurusan partai saat ini menjadi faktor paling menentukan dinamika Parpol. Siapapun yang akan dipilih sebagai pucuk pimpinan selalu didasarkan berbagai pertimbangan rasional para pengurus partai. Ini artinya, kemandirian Parpol telah berurat akar sehingga tidak ada kekuatan apapun yang dapat mengintervensi.
Setiap kehadiran kekuatan dari luar -jika memang ada selalu didasarkan kesepakatan kepentingan seluruh atau sebagian besar internal partai. Jadi, sebenarnya omong kosong, sebuah Parpol di era sekarang ini, diinternvensi pemerintah atau sosok tertentu untuk tampil sebagai ketua umum misalnya. Jika ada orang luar masuk menjadi pucuk pimpinan, selalu atas dasar rasionalitas dan kalkulasi politik kepentingan internal partai atau dalam kalimat lain demi kepentingan pragmatis misalnya bahwa sosok bersangkutan memiliki potensi popularitas dan elektabilitas untuk membesarkan partai.
Jadi, secara logika jika terjadi misalnya orang luar masuk- selalu atas dasar hubungan saling menguntungkan. Bukan lagi seperti di masa lalu, yang sepenuhnya atas dasar kepentingan kekuasaan yang bertujuan mengkerdilkan Parpol.
Intervensi terhadap Parpol, dalam bentuk kudeta atas dasar kepentingan seperti di masa lalu, sangat mustahil. Yang terjadi – bila ada pihak luar masuk- selalu atas dasar saling menguntungkan. Mana ada pengurus partai sekarang ini baik di tingkat pusat maupun daerah, yang ingin partainya mengecil. Kepentingan eksistensi kebesaran Parpol menyangkut nasib mereka sendiri yang akan bertarung dalam Pileg maupun Pilkada. Tak akan ada yang diam bila prospek politik mereka terganggu. Begitulah.