Oleh: Miqdad Husein
Mantan Menteri Kwik Kian Gie muncul di dunia maya melalui jejaring sosial twitter. Tweetnya cukup mencengangkan untuk seorang sekaliber Kwik yang malang melintang di pentas politik nasional negeri ini.
“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam tidak sekalipun ada masalah,” kata Kwik.
Belakangan Kwik merevisi meminta maaf dengan pilihan kata yang dianggapnya kurang tepat. “Bukan takut di-bully oleh para buzzer dan juga bukan takut dikritik sekeras apapun. Tapi rasa sangat tidak nyaman dengan kata-kata kasar dan kotor. Akan aku coba juga ikut-ikutan pakai kata shit dan sejenisnya. Ikut arus zaman now,” tweet koreksinya.
Masyarakat negeri ini tentu mengenal sosok Kwik, sebagai analis ekonomi obyektif dan terkenal sangat tajam. Pemikirannya, banyak menjadi referensi praktisi ekonomi di negeri ini. Sikap beliau dalam dua tweetnya memperlihatkan konsistensi Kwik sebagai intelektual. Ia menyadari kesalahan pilihan kata sebelumnya. Sebuah sikap yang perlu diapresiasi.
Namun demikian, tetap rangkaian tweet Kwik terutama pada ‘suara’ pertama perlu diluruskan. Bahwa kondisi sekarang seakan setiap menyampaikan pendapat akan berhadapan dengan serbuan buzzer memang sangat mungkin. Inilah realitas dunia maya saat ini. Sebuah hiruk pikuk yang tak ditemukan di era sebelumnya.
Kwik mungkin perlu lebih terbuka dan mengakui pula bahwa serbuan buzzer bukan hanya kepada yang mengkritisi pemerintah. Yang mendukung pemerintahpun mendapat serbuan buzzer. Bahkan, jika Kwik menengok sedikit pada moment Pilpres serbuan buzzer ke Capres Jokowi bukan lagi sekedar serangan mengarah pada perbedaan pendapat. Jokowi bahkan diserbu fitnah, hoax dan yang tak terbayangkan: penghinaan luar biasa. Orangtua Jokowipun pernah menjadi sasaran penghinaan.
Buzzer itu riil ada pada kedua belah pihak yang menyerbu pendukung pemerintah maupun pengkritik kekuasaan. Sangat sistematis dan tidak hanya melalui twitter. Facebook dan jejaring sosial dimanfaatkan seluas-luasnya, semena-mena.
Kwik mungkin lupa betapa dasyat fitnah, hoax dan bahkan hinaan kepada Capres Jokowi saat Pilpres 2019. Cara penyampaianpun sangat sistematis. Yang mengerikan berbagai serbuan buruk itu menggunakan label agama. Politik identitaspun yang menyerang Jokowi secara terbuka dilakukan partai berbasis agama.
Kwik tentu masih ingat Ijtimah Ulama I dan II serta berbagai penyebaran keputusan yang kemudian menyerang habis-habisan Capres Jokowi. Bukan kapasitas dan kapabilitas serta berbagai kebijakan Jokowi yang diserang melainkan hal-hal bersifat pribadi. Ya disebut Cina, Komunis, Ibunya tidak jelas dan berbagai julukan sangat jauh dari keadaban. Bukan hanya kata-kata kotor bahkan gambar atau foto-foto sangat menista Capres Jokowi, sempat tersebar.
Sekali lagi, semuanya merupakan fitnah, hoax dan penghinaan luar biasa. Bukan serangan pada pemikiran, kebijakan, kapasitas dan kapabilitas Capres Jokowi. Kwik mungkin perlu membuka file-file digital. Yang masih banyak beredar hinaan Rizieq Shihab yang antara lain menyebut Jokodok dan masih banyak ucapan penghinaan lainnya.
Kalimat Kwik menyebut era Soehato lebih bebas jelas sangat menggelikan. Lagi-lagi Kwik perlu membuka file-file digital tentang betapa banyak penghinaan dan caci maki kepada Presiden Jokowi bisa bebas berkeliaran, yang jika terjadi di era Soeharto tak akan berumur panjang. Pasti jadi sasaran penangkapan.
Ada lagi opini menyesatkan sejalan nuansa pernyataan Kwik. Sekarang disebarkan opini banyak ulama dikriminalisasi, ulama dibungkam, kegiatan keislam dihambat. Ironisnya, ketika ditanya siapa ulama yang ditangkap dan apa kegiatan keislaman yang dihambat tak bisa menjawab? Kalau toh menyebut nama ternyata sosok bermasalah seperti Alfian Tanjung, yang diproses hukum karena menfitnah Teten Masduki. Nur Sugih yang jelas-jelas menghina Nahdatul Ulama. Lalu Rizieq Shihab, yang luar biasa banyak melakukan penghinaan hingga dilaporkan banyak orang. Hampir semuanya tidak terkait pemerintah dan lebih merupakan laporan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
Kwik perlu membuka file kejahatan Orde Baru. Puluhan dan bahkan ratusan ulama yang ditangkap termasuk para aktivis pro demokrasi. Sebagai politisi PDIP Kwik tentu merasa betapa sulitnya saat masih bernama PDI di era Soeharto.
Sebagian dari mereka yang ditangkap bahkan tidak diproses hukum dan hanya ditahan. Belum lagi, yang hilang tanpa jejak. Jangan coba-coba berceramah bernada kritik. Masjid, Gereja hanya boleh bicara iman dan taqwa. Bicara masalah sosial apalagi politik siap-siap diblack list dan hilang tanpa jejak.
Kwik harusnya bisa membedakan antara buzzer dan kebijakan pemerintah. Mengkritik pemerintah sekarang ini aman, tak akan pernah ditangkap. Soal buzzer, kenapa harus takut. Mereka tak punya kekuasaan, tidak punya tentara dan tak bisa menangkap yang bersikap kritis. Teruslah mengkritisi pemerintah secara obyektif dan konstruktif, amanlah.