Oleh: Miqdad Husein*
Kejadian siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) non-Islam di Padang, yang merasa harus memakai jilbab (baju muslimah) memberi pelajaran berharga tentang perlunya pemahaman relasi agama dan negara serta adat istiadat. Masih saja muncul persoalan sejenis sehingga menimbulkan kesan ada kontradiksi antara negara (hukum) dan agama. Tempat kejadian di Padang, yang dikenal sangat religius makin memberi kesan kontradiksi.
Pengaruh adat sangat mungkin mewarnai pelaksanaan peraturan di sekolah karena masyarakat Sumatra Barat sangat kental memiliki pedoman hidup keseharian bahwa Adat Bersandi Syara, Syara’ Bersandi Kitabullah. Di sini terpapar jelas bahwa adat Sumatra Barat memang berlandaskan kitab suci Al Qur’an. Paling tidak telah menjadi penegasan budaya masyarakat Sumatra Barat.
Sangat mungkin semangat menerapkan peraturan kewajiban berbusana muslimah mendapat pengaruh nilai-nilai ‘Syara’ Bersandi Kitabullah.’ Ada semangat untuk melaksanakan ajaran kitab suci Al Quran. Namun sayangnya, kegairahan itu –kali ini- terlampau bersemangat sehingga ditujukan kepada siapapun siswi di SMKN di Padang. Masalah muncul ketika ternyata semangat itu berbeda dengan ketentuan peraturan yang berlaku di sekolah negeri, yang berada dalam naungan langsung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jadi, sesungguhnya yang terjadi di Padang bukan semata persoalan relasi agama dengan negara (hukum) semata tetapi juga berhubungan dengan adat istiadat. Nah, karena adat berperan dalam kehidupan masyarakat Sumatra Barat, bukan hal luar biasa ketentuan kewajiban memakai jilbab memiliki pembenaran sosial budaya.
Seluk beluk persoalan kasus siswi di Padang itu perlu diurai secara dingin tanpa prasangka apalagi disertai komentar-komentar yang kadang jauh dari subtansi persoalan. Seyogyanya seluruh persoalan dikembalikan kepada mekanisme hukum dan pemahaman realitas budaya Sumatra Barat agar tidak menimbulkan gejolak jauh dari produktif.
Pertama tentu perlu dicermati status sekolah tempat siswi belajar. Apakah sekolah umum negeri atau sekolah khusus yang diselenggarakan organisasi atau lembaga seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan lembaga keislaman lainnya. Jika bersifat khusus, sudah pasti ketentuan sepenuhnya tergantung sekolah bersangkutan sehingga siapapun yang ingin masuk sekolah itu, mau tak mau harus mengikuti ketentuan yang berlaku.
Prinsip seperti itu bukan hanya berlaku di kalangan sekolah khusus yang diselenggarakan organisasi atau lembaga Islam. Lembaga-lembaga Kristianipun memiliki prinsip peraturan serupa apalagi sekedar persoalan seragam. Di Sekolah BPK Penabur dan lainnya, ketentuan seperti sekolah yang diselenggarakan lembaga Islam juga berlaku.
Bagaimana jika sekolah umum negeri? Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan ketentuan yang jelas soal seragam melalui Peraturan Kemendikbud nomor 45 tahun 2014. Termasuk, mereka yang ingin berhijabpun telah diatur bentuknya. Jadi, tidak masalah misalnya, ada siswi muslim ingin berjibab atau berhijab. Ada petunjuk teknisnya.
Kembali ke Padang, perlu dilihat status sekolah dan kemudian pijakan dasar ketentuan seragamnya. Jika sekolah umum negeri, tentu saja, harus mentaati ketentuan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Memakai Jilbab pada peraturan Kemendikbud itu sebagai pilihan untuk menjalankan keyakinan agama.
Jadi sebenarnya, memakai pakaian muslimah sepenuhnya merupakan inisiatif siswi bersangkutan dan tidak bisa menjadi keharusan bagi seluruh siswi. Ini berarti kepada siswi muslim pun di sekolah negeri, ketentuan memakai pakai muslimah tidak dapat dijadikan sebagai kewajiban. Apalagi kepada siswi non muslim.
Di sinilah peristiwa siswi SMKN di Padang menjadi kontroversi. Kepada siswi muslim saja tidak dapat dipaksakan apalagi kepada siswi non muslim.
Sebuah sekolah secara sosial sah saja memberikan bimbingan moral kepada siswi muslim untuk melaksanakan keyakinan agamanya. Namun, tetap di sini sekolah tidak dapat memaksakan ketentuan yang tidak tercamtum dalam Peraturan Kemendikbud 45 tahun 2014.
Menjadi tugas dan kewenangan guru agama Islam di Sumatra Barat mendidik siswi agar memakai busana muslimah sebagai pelaksanaan ajaran Islam. Katakanlah ini bagian dari tugas pendidikan dan dakwah, yang dalam konteks sosial juga bersemangat menerapkan Adat Bersandi Syara’ Syara’ Bersandi Kitabullah.
Dalam masyarakat multi kultural negeri ini, sangat dibutuhkan kedewasaan memahami dan menerapkan hukum yang menjadi payung kehidupan sosial tanpa mengabaikan realitas sosial budaya serta terutama keyakinan keagamaan masyarakat. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang terbuka untuk seluruh masyarakat tanpa perbedaan agama, suku dan ras, namun pemerintah memberikan kesempatan membuka ‘ruang khusus’ kepada lembaga-lembaga keagamaan menyelenggarakan pendidikan dengan kekhasannya.
Semua sebenarnya sangat jelas. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.