Oleh : Miqdad Husein
Terkait penanganan masalah perkotaan, tidak ada kehebohan yang lebih luar biasa di dunia ini dibanding persoalan Jakarta. Sejak reformasi terutama setelah pemilihan Gubernur lebih terbuka dan kompetitif, memberi kesempatan kepada seluruh kader partai bertarung, gempita penanganan Jakarta benar-benar dasyat.
Yang menarik, pusat kehebohan tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Apalagi kalau bukan soal penanganan banjir. Siapapun yang bertarung ingin jadi pucuk pimpinan Jakarta, jualannya konsep penanganan banjir. Janji-janji Jakarta tak akan banjirpun seperti air bah itu sendiri. Mengalir deras dari para kandidat. Dan biasanya, tidak pernah terbukti.
Mengapa tidak pernah terbukti? Karena memang Jakarta identik dengan banjir. Anatomi Jakarta dari nama berbagai kawasannya saja sudah mencerminkan tempat tinggal banjir. Ada nama Rawabelong, Rawasari, Rawamangun,
Rawabadak dan lainnya.
Nah, sudah jelas anatomi Jakarta identik banjir, yang membentuk cekungan sehingga air mengalir dari berbagai arah, lucunya para politisi yang ingin tampil sebagai Gubernur Jakarta, selalu berkoar dapat mengatasi banjir Jakarta. Seakan bisa membuat Jakarta jadi tinggi, berbalik dari tempat air berkumpul menjadi penyebar air. Mimpi kali,kata anak asli Jakarta.
Banjir yang dijadikan komoditas politik tampak kesal juga. Tetap saja membandel datang, setiap akhir hingga awal tahun. Baru mulai berkurang –biasanya- menjelang akhir Maret.
Terkait sebagai komoditas politik ini, parahnya sering pula banjir jadi ajang pamer diri dari para Gubernurnya. Itupun, selalu gagal dan tak terbukti. Mana bisa terbukti lha Jakarta merupakan muara air dari pinggiran Jakarta, terutama Bogor dan Depok.
Sikap saling pamer yang ternyata tak pernah terbukti itu akhirnya mengabaikan obyektifitas persoalan penanganan banjir Jakarta. Yang dikedepankan nuansa politik rivalitas, yang kadang masih berbau sisa-sisa Pilkada. Jadilah penanganan banjir Jakarta, makin sulit menemukan titik penyelesaian.
Tahun ini misalnya, kembali sikap saling pamer muncul, tanpa menyadari bahwa semuanya sebenarnya ngak akan terbukti. Gubernur Anies Baswedan, dari sebuah video yang beredar didampingi staffnya pamer testimoni seorang warga Cipinang Melayu.
Warga itu dengan gagah sambil menyebut dan membawa keyakinan agamanya menceritakan bahwa tahun ini Cipinang Melayu tidak banjir. Ini katanya, tidak pernah terjadi. Semua berkat kerja keras Gubernur dan staff. Lalu, dilanjutkan puja-puji kepada Gubernur Anies.
Mereka karena rivalitas lupa bahwa Jakarta penuh rawa-rawa. Lupa, Jakarta cekungan tempat air berkumpul. Benar saja. Baru beberapa hari saja, air bah masuk Jakarta, dari intensitas hujan lokal, maupun air kiriman dari Bogor dan Depok. Cipinang Melayu, yang disebut tidak banjir ternyata justru kebanjiran hampir empat meter, lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Terlihat jelas, aroma rivalitas akhirnya, justru menjebak siapapun terperangkap dalam prediksi salah. Obyektivitas diabaikan sehingga pengelolaan banjir tidak maksimal. Jiwa besar untuk menerima berbagai masukan atau meneruskan hal baik dari siapapun, karena ego rivalitas diabaikan sehingga banjir Jakarta justru makin besar dan sulit diprediksi.
Yang pernah menangani Jakarta merasa lebih mampu mengatasi persoalan banjir Jakarta. Yang sedang memegang jabatan Gubernurpun makin tak mau kalah, mengedepankan egonya dan bukan akal sehatnya. Bukan hal luar biasa kalau kemudian yang terjadi seperti bongkar pasang konsep. Saling mengunggulkan istilah; yang satu normalisasi, satunya naturalisasi.
Mereka yang berpikir jernih, terutama masyarakat Jakarta sendiri sebenarnya tidak peduli. Mau normalisasi atau naturalisasi tidak penting. Yang terpenting, Jakarta segera bisa mengelola banjir, agar tidak menggenang berlama-lama. Kalau ada air masuk Jakarta, segera surut atau berlalu; baik masuk ke dalam tanah melalui serapan atau langsung mengalir jauh ke laut.
Bisakah, siapapun yang terkait Jakarta, baik pejabat yang berkuasa dan siapapun membuang jauh berbagai rivalitas, pamer, ego, merasa paling jago. Lalu, berpikir dan bertindak obyektif menggunakan konsepsi solusi dari siapapun asal pengelolaan banjir Jakarta optimal, membuat penderitaan rakyat berkurang.