Oleh : MH. Said Abdullah
Di tengah kebutuhan pembiayaan upaya penanggulangan pandemi Covid-19 pemerintah perlu mengoptimalkan penggalian pajak pribadi yang secara riil berpotensi sangat besar. Perlu strategi efektif, efisien agar kesadaran para wajib pajak meningkat memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan kajian Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementrian Keuangan ada sekitar 100 trilyun potensi penghasilan orang pribadi belum tergali.
Masih menurut BKF, potensi penerimaan PPh Pasal 21 secara nasional senilai Rp192,4 triliun. Dengan income tax coverage ratio (ITCR) sebesar 61,2%, terdapat potensi penerimaan senilai Rp74,7 triliun yang belum tergali. Sebuah angka sangat besar, yang menjadi pekerjaan rumah sangat menjanjikan.
Untuk perbandingan lain, potensi penerimaan PPh Pasal 25/29 OP pada 2017 diestimasi senilai Rp117,5 triliun. Dengan realisasi hanya Rp9,5 triliun, masih ada potensi penerimaan yang belum tergali hingga Rp108 triliun. Angka ITCR PPh Pasal 25/29 hanya 3,1%, jauh lebih rendah dari ITCR PPh Pasal 21.
Perbedaan angka ITCR pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 masih menurut BKF, disebabkan salah satunya adalah perbedaan mendasar dalam cara pemungutan pajak.
Papaparan selintas itu menegaskan betapa potensi pajak pribadi sangat luar biasa. Sayangnya, sampai saat ini masih belum menemukan solusi efektif. Sementara, kesadaran para wajib pajak serta pemahaman urgensi pajak bagi kepentingan pembangunan belum sepenuhnya tumbuh.
Memang harus diakui menangani subjek pajak orang pribadi merupakan pekerjaan sangat tidak mudah. Akibatnya struktur penerimaan perpajakan di Indonesia masih sangat rapuh karena belum sepenuhnya didukung optimal subyek pajak pribadi.
Sekedar perbandingan, penerimaan pajak penghasilan (PPh) secara umum hanya sedikit di atas pajak pertambahan nilai (PPN). Sementara itu, penerimaan PPh sangat didominasi oleh PPh badan (90%) relatif terhadap PPh orang pribadi (OP).
Di dunia internasional sudah menjadi pakem mapan bahwa penerimaan pajak langsung lebih tinggi dari pajak tidak langsung. Perolehan PPh OP lebih dominan dari PPh badan.
Jika mencermati anatomi dunia usaha Indonesia, yang 80 persen berskala kecil dan menengah, sebenarnya sangat jelas potensi pajak nonkaryawan sangat besar. Persoalannya, lagi-lagi pada basis data dan intensitas upaya penggalian potensi pajak belum berjalan optimal ditambah kesadaran membayar pajak dari para wajib pajak masih rendah.
Potensi pajak pribadi itu akan terlihat makin memberikan indikasi harapan bila sedikit mencermati perkembangan peningkatan jumalah orang-orang kaya Indonesia di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan data Asisa Pasific Wealth Report 017, jumlah orang kaya di Indonesia ternyata naik sekitar 11,2 persen. Ini artinya, potensi pajak penghasilan PPh orang pribadi memiliki korelasi dan dasar pijakan rasional.
Survei Globe Asia 2018 memaparkan dari 150 orang kaya di Asia ternyata sepertiganya berada di Indonesia. Jadi, sangat rasional sebenarnya upaya mengoptimalisasi PPh orang pribadi.
Di luar persoalan bersifat kebijakan dan teknis pengelolaan perpajakan, harus diakui bahwa cara pandang masyarakat secara keseluruhan terhadap realitas pajak dan persambungan kebutuhan pembiayaan pembangunan belum dipahami secara integral. Bahkan, di kalangan elite seringkali terjadi sikap yang jauh dari proporsional dalam memposisikan urgensi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.
Kita sering mendengar kritik tajam terhadap peningkatan utang pemerintah dalam membiayai pembangunan. Namun, sedikit sekali dorongan terhadap upaya peningkatan pembayaran pajak. Padahal, peningkatan utang selalu terkait antara lain dari kondisi pemasukan pajak pemerintah.
Di sinilah urgensi perlunya diarahkan mobilisasi opini kepada seluruh komponen wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya. Seluruh komponen bangsa seperti tokoh adat, agamawan, elit politik, perlu bersama-sama mendorong para wajib pajak terutama wajib pajak pribadi, yang sampai sekarang masih relatif minimal dalam memenuhi kewajibanya.
Pemerintah dalam beberapa tahun ini telah mempermudah proses pembayaran pajak. Demikian pula pengawasan penerimaan pajak sehingga makin kecil kemungkinan penyalahgunaan pengelolaan perpajakan. Jadi tidak alasan lagi untuk mengabaikan kewajiban membayar pajak yang sangat dibutuhkan membiayai keseluruhan pembangunan negeri ini termasuk yang mendesak: memutus pandemi Covid-19.