Oleh : MH. Said Abdullah (*)
Dalam alam demokrasi, pro kontra atau perbedaan pemikiran merupakan hal biasa dan wajar terjadi. Menyampaikan pemikiran dan sikap berbeda melalui demontrasipun dibenarkan selama mematuhi ketertiban umum serta berjalan damai tanpa ada tindakan anarkis. Demikianlah warna warni negara demokrasi sebagaimana terjadi di Indonesia, negeri yang kita cintai.
Pro kontra persoalan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 yang terjadi sekarang ini merupakan hal yang tidak mengejutkan. Semuanya merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Watak asli demokrasi selalu memberi ruang siapapun menyampaikan pemikiran dan sikap. Tentu saja tetap di atas landasan perundang-undangan yang telah disepakati.
Menjadi masalah ketika pro kontra ternyata sengaja diplintir ke wilayah yang keluar dari persoalan riil sehingga menimbulkan kesalahan pemahaman dan penafsiran. Masyarakat luas sengaja diseret ke arah pemahaman yang jauh dari teks dan konteks persoalan sesungguhnya.
Pada kasus Perpres Nomor 10 tahun 2021 itu paling tidak ada dua hal mendasar yang memperlihatkan kesengajaan diplintir. Pertama, menyebut sebagai Perpres Minuman Keras atau Miras. Sudah pasti tak akan ditemukan nomenklatur Miras. Sebab Perpres itu sangat jelas tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Persoalan minuman alkohol hanya menjadi bagian dan itupun sebatas menyangkut pengaturan investasi serta peredarannya. Berlaku juga terbatas hanya di empat provinsi yaitu Papua, Sulawesi Utara, Bali dan NTT yang secara kearifan lokal membolehkan minuman beralkohol.
Plintiran kedua menyebut Perpres sebagai legalisasi minuman keras pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi. Jelas ini kesengajaan untuk mengaburkan persoalan dan bahkan merupakan distorsi informasi untuk menyesatkan pemikiran masyarakat.
Distorsi informasi kedua ini sangat berbahaya karena sengaja dikaitkan keyakinan keagamaan umat Islam, yang memang melarang minuman keras. Sangat jelas dari penyebutan legalisasi Miras ini sebagai bentuk rekayasa pembusukan kepada pemerintah. Tujuan akhirnya apalagi kalau bukan menggoyang pemerintah.
Penyebutan legalisasi Miras ini disamping merupakan distorsi informasi juga merupakan fitnah luar biasa. Pertama, perdagangan minuman beralkohol (tidak disebut Miras) sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2013 sebagai pengganti Kepres Nomor 3 tahun 1997 serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014. Itu terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatur perdagangan Minol agar tidak dijual bebas, terbatas serta diatur oleh negara.
Dari sini terlihat jelas tudingan kepada pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi melegalkan Miras merupakan fitnah keji luar biasa. Sudah sekitar delapan tahun Miras merupakan minuman legal di negeri ini yang diatur secara sangat terbatas peredarannya. Lalu, mengapa secara sengaja justru menuduh Presiden Jokowi melegalkan Miras. Sudah dapat dipastikan ini merupakan konspirasi sistematis dan massif yang sengaja disebar di media dan jejaring sosial.
Yang dilupakan –atau memang sengaja dikaburkan- Pemerintah Daerah DKI Jakarta, yang Gubernurnya Anies Baswedan dianggap sangat Islami ternyata memiliki saham di Perusahaan Minuman Beralkohol PT Delta lebih dari 26 persen. Di Wilayah Jabotabek, sampai saat ini masih berdiri perusahaan Minol serta masih ada pengimpor monopoli Minol, yang meraih keuntungan sangat luar biasa, sejak era Orde Baru.
Kasus heboh Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal sekali lagi harus menjadi pembelajaran berharga bagaimana kehidupan demokrasi perlu dijaga sangat ketat dari perusakan oleh tangan-tangan petualang politik yang tidak ingin negeri ini damai. Para politisi yang sekarang menjadi bagian perjalanan republik ini, baik yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan perlu mengembangkan sikap arif dan bijaksana. Perlu mewaspadai kekuatan yang ingin merusak demokrasi dan kedamaian negeri ini.
Di era media sosial seperti sekarang, kemudahan menyebar distorsi informasi seperti membalik tangan. Karena itu, seluruh potensi bangsa perlu terus berupaya menjaga dinamika demokrasi dari para petualang politik dengan memacu pencerdasan dan pencerahan pemikiran masyarakat, agar mampu berpikir jernih dan obyektif dalam merespon masalah apapun.
Jangan pernah membiarkan lobang sekecil apapun yang berpeluang dimanfaatkan mereka yang ingin merusak demokrasi melalui cara-cara membangkitkan emosi masyarakat. Negeri ini harus segera melaju cepat menyongsong masa depan dengan terus mendorong seluruh masyarakat mempertajam kemampuan berpikir serta menghindari perilaku atas dasar emosi semata. Bersikap rasional Yes, emosional No. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.