Oleh: Miqdad Husein (*)
Apakah buzzer tergolong ‘makhluk’ super buruk? Tergantung. Tak sertamerta buzzer buruk karena banyak aktifitasnya justru menjadi kekuatan kontrol. Demikian pula tak bisa disebut sepenuhnya ‘positif’ karena ternyata, ada pula tindakan ‘salah jalan.’
Buzzer sesungguhnya sama saja seperti aktivitas pemberitaan. Perbedaanya, lebih bersifat personal,dilakukan sendiri atau digalang secara bersama-sama tanpa membentuk kelembagaan seperti website misalnya. Karena itu sangat mungkin tanpa digalang atau dikomando beberapa buzzer menyampaikan pikiran sama tentang satu persoalan. Jadi ikatan kebersamaan terbangun atas dasar kesamaan pemikiran, pendapat, dukungan dan kepentingan.
Kolektivitas alamiah buzzer biasanya terjadi di wilayah politik ketika membela, mendukung atau menyerang lawan politik sosok yang didukung. Atau, ada sosok tertentu dalam pemberitaan media maintream diberitakan jauh dari proporsional lalu ada simpatisan yang demikian gigih membelanya. Pembelaan itu bisa jadi tidak digalang tapi merebak secara alamiah sebagai wujud sikap simpati.
Apakah buzzer dibayar? Mungkin saja. Bisa jadi ada buzzer profesioanal, yang sengaja dibayar untuk kampanye politik, mempromosikan produk tertentu secara gencar atau dijadikan alat kepentingan.
Jadi tergambar jelas pada dasarnya buzzer tak lebih dari seperangkat aktivitas di media sosial, yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Soal dia negatif atau positif, pada dasarnya sepenuhnya tergantung apa yang menjadi konten serbuan buzzer bersangkutan. Ibarat pisau, tergantung siapa memegang dan kepentingannya. Jelas beda fungsi jika dipegang juru masak dan perampok atau penjahat.
Dalam sepekan ini misalnya, ada serbuan buzzer yang demikian massif mengkritisi penggunaan APBD Jawa Timur sebesar Rp 9 miliar untuk keperluan pendirian musium Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Pacitan. Para buzzer menilai penggunaan dana APBD untuk sebuah musium pribadi sangat tidak patut.
Pertanyaannya apakah serbuan buzzer itu buruk? Jelas tidak dan bahkan merupakan kekuatan kontrol sangat baik. Mereka mengingatkan agar APBD tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atas dasar alasan apapun. Bahwa dibalik kritik soal dana APBD kemudian muncul percikan kritik lain kepada SBY dan Demokrat, itu tak lebih pernik-pernik dari perjuangan melawan penyalahgunaan APBD.
Dan yang perlu dipahami pernik-pernik itu tidak akan muncul jika memang tak ada dasarnya. “Tidak akan ada asap bila memang tak ada api” kata pepatah populer.
Perlukah takut kepada buzzer? Jika seseorang tidak bersalah mengapa harus takut kepada buzzer. Jika tidak melakukan tindakan tercela, salah, apalagi yang sama sekali tidak terkait kepentingan publik, tidak perlu takut.
Buzzer merupakan anak kandung media sosial, yang di negeri ini mulai populer pada tahun 2019. Jauh sebelumnya aktivitas buzzer sudah mulai terasa pada momen Pilkada Jakarta. Namun, pada moment Pilpres 2019 istilah buzzer naik daun. Ini tentu saja terkait hiruk pikuk Pilpres, yang memang sangat luar biasa.
Pilpres 2019 sejatinya di media sosial merupakan pertarungan antar buzzer. Tak jelas apakah mereka bagian dari tim kampanye masing-masing Capres Cawapres dan merupakan aktvitas profesional. Atau, atas dasar kesadaran sendiri –tanpa dibayar- memberikan dukungan. Yang sangat jelas mereka bertarung saling mempengaruhi masyarakat untuk mendukung kandidatnya.
Apakah buzzer menjadi kekuatan berbahaya? Sekali lagi tergantung. Jika aktivitas mereka seperti kasus APBD Jawa Timur, mengangkat beberapa kejanggalan penanganan hukum, memberikan pembelaan kepada masyarakat terdzalimi, menyampaikan data tindak pidana korupsi, penyalahgunaan anggaran, buzzer justru dibutuhkan negeri ini sebagai kekuatan penekan. Mengambil alih fungsi media mainstream sebagai kekuatan demokrasi keempat.
Buzzer harus diberangus jika menjadi kekuatan penyebar fitnah, hoax dan penghinaan serta berbagai ujaran kebencian yang memprovokasi untuk bertindak anarkis. Jika sebatas ‘bikin’ gaduh menyampaikan meme-meme lucu sebagai kritik, biarlah menjadi bumbu.
Mungkin perlu dipikirkan bagaimana aktivitas di media sosial lebih bertanggungjawab. Misalnya, keharusan menggunakan nama asli sesuai KTP dan identitas resmi lainnya. Ini penting, agar seheboh apapun yang ‘disemburkan’ ke media sosial didasarkan tanggungjawab penuh dengan konsekuensi hukum, bila ternyata merupakan fitnah atau hoaks.
Jadi jika tidak merasa berbuat salah, tak perlu takut terhadap buzzer. Jika berjalan lurus, tak akan ada buzzer mengganggu. Percaya dirilah. Buzzer jangan dijadikan ‘hantu.’ (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.