Oleh : MH. Said Abdullah
Sebuah peristiwa pertemuan mengejutkan terjadi di tanah air. Peristiwa itu bagi sebagian orang ibarat petir pada siang bolong karena praktis sangat tak terduga –mengejutkan- terutama terkait rentetan berbagai kontroversi salah satu pihak, yang hadir dalam pertemuan.
Adalah kehadiran mantan politisi PAN M. Amien Rais menemui Presiden Jokowi, di Istana Negara, peristiwa yang menyita perhatian itu. M. Amien Rais, bersama rombongan antara lain Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara, Kiai Muhyiddin mengunjungi Istana Negara, membicakan peristiwa di KM 50. Sementara Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensesneg Pratikno.
Kehadiran Amien Rais menemui Presiden Jokowi di Istana Negara tentu saja menjadi perhatian. Maklum saja, mantan Ketua MPR itu, dalam berbagai kesempatan demikian bersikeras mengatakan tak akan pernah mau menemui Presiden Jokowi, di Istana Negara. Secara terbuka Amien bahkan pernah mensyaratkan agar Presiden Jokowi diminta datang ke Yogyakarta, jika ingin bertemu dirinya. Namun, ternyata kata-kata sekeras dan setegas apapun memang tak mudah dipertahankan.
Sudah menjadi rahasia umum M. Amien merupakan sosok yang selama ini sangat gencar mengkritisi Jokowi. Kritik-kritiknya sebagian mencerminkan jauh dari sikap konstruktif serta kecenderungan nyinyir. Beberapa pernyataan Amien Rais bahkan dinilai berlebihan karena bernuansa ‘ledekan’ antara lain ketika menyebut Jokowi nantinya akan seperti bebek lumpuh. Sebuah perumpamaan yang jauh dari kepantasan dilontarkan tokoh sekaliber Amien Rais, apalagi disampaikan kepada sosok yang masih menjabat pucuk pimpinan negeri ini.
Demikianlah Amien Rais, sekitar tujuh tahun belakangan. Berseberangan politik ternyata telah melelapkannya dalam berbagai retorika yang kadang jauh dari kepatutan.
Karena itu kesediaan Presiden Jokowi menerima para tokoh kritis tentu saja menjadi perhatian paling luar biasa dari moment pertemuan. Betapa dasyat jiwa besar Presiden Jokowi bersedia menerima mereka yang selama ini praktis sudah demikian kasar mengecamnya. Dari jejak digital sangat mudah ditemukan tentang berbagai lontaran pernyataan ‘berlebihan” mengarah kepada Presiden Jokowi, terutama dari Amien Rais.
Kelapangan jiwa Presiden Jokowi seakan seluas samudra sehingga apapun terserap tidak meninggalkan jejak. Kecaman, tudingan, makian, hinaan dan bahkan fitnah demikian dasyat mengarah kepada Presiden Jokowi. Namun semuanya seakan larut mencair dalam samudra kebersihan hati dan jiwa besar Presiden Jokowi.
Kesediaan menerima Amien Rais dan lainnya, sungguh merupakan jiwa kenegarawanan sangat luar biasa hingga membuat siapapun yang mampu berpikir jernih akan mengapresiasinya. Sangat jarang -untuk tidak disebut hampir mustahil- seorang pemimpin sekaliber Presiden berkenan menerima mereka yang demikian gencar menjadikan dirinya sasaran tembak berbagai lontaran retorika kasar, kritik, kecaman apalagi yang sudah melampaui batas.
Tidak salah jika Jokowi disebut sudah selesai dengan dirinya dan hanya berpikir kepentingan negeri ini. Ia tidak peduli apapun, termasuk ketika dirinya menjadi sasaran hinaan. Yang terpenting bagi dirinya bagaimana membawa seluruh perahu bernama Indonesia dapat melaju cepat menuju kehidupan lebih baik.
Ia demikian terbuka menerima siapapun. Bersedia mendengar dan berbicara tanpa kecuali dengan siapapun, termasuk lawan politik, yang berbeda tajam selama bertujuan untuk kepentingan rakyat dan negeri ini.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, tokoh yang juga dikenal sangat kritis kepada Presiden Jokowi, tidak mampu menyembunyikan kekagumannya pada pertemuan di Istana Negara. Momentum pertemuan itu katanya, merupakan pelajaran sangat berharga dan sangat patut diapresiasi.
Presiden Jokowi dari pertemuan luar biasa itu seakan menegaskan bahwa politik komunikasi, silaturrahmi. Tidak ada masalah yang tak dapat diselesaikan jika terjalin silaturrahmi atau komunikasi. Perbedaan setajam apapun dapat diselesaikan jika fondasi utama, kesediaan berkomunikasi masih terjalin.
Sebuah pelajaran sangat berharga, bagaimana seluruh tokoh negeri ini menjadikan perbedaan apapun, kritik, kecaman, perdebatan, senantiasa dilandasi semangat kebaikan sehingga ruang untuk bersilaturrahmi senantiasa tetap terbuka dan terjaga. Berkata baik, santun, beradab demi kepentingan negeri ini tentu saja, menjadi energi penting proses untuk selalu terjalin komunikasi.