Oleh ; Miqdad Husein
Seorang jurnalis yang terbiasa melakukan perjalanan merasa bingung saat menjumpai para pedagang, baik kaki lima maupun yang relatif ‘mapan.’ Usaha mereka hampir seluruhnya terdampak pandemi Covid-19. Namun yang mengherankan respon mereka tak memperlihatkan perlawanan sistematis melainkan bersikap seperti pasrah.
Sepanjang perjalanan di Jawa, apalagi di luar Jawa, para pedagang mengeluh usahanya ‘babak belur’ tapi mereka ironisnya justru melabrak protokol kesehatan. “Jarang ditemui mereka memakai masker,” paparnya.
Tentu saja, yang ditemui di tengah masyarakat menjadi faktor utama hambatan upaya memutus pandemi Covid-19. Masker dan Prokes lainnya merupakan prasyarat dasar memutus pandemi. Jika persoalan kedisiplinan masih menjadi masalah sangat sulit berharap pandemi segera berakhir.
Dari pengamatannya, mereka cenderung bersikap fatalis -untuk tidak disebut putus asa. Dalil agama soal takdir kadang jadi pembenaran. Ironisnya mereka mengomel ketika dagangan atau usaha bisnis sepi.
Pasrah total soal Covid sehingga mengabaikan Prokes tapi ‘menggugat’ ketika pasar sepi menjadi bagian keseharian. Padahal sangat jelas persambungan ekonomi lesu dengan pandemi Covid-19.
Mereka tak tergerak menerapkan Prokes sebagai ikhtiar mempercepat pemutusan pandemi. Tetapi berharap ekonomi segera membaik.
Terjadi kontradiksi sosial terutama di kalangan masyarakat bawah. Pernik-pernik pemikiran mereka dalam merespon pandemi Covid-19 bertolak belakang dengan mekanisme standar upaya pemutusannya. Ini sama saja seseorang ingin sembuh dari penyakit tapi tak mau berobat. Pasrah pada keadaan penyakit tapi berharap cepat sembuh.
Tidak perlu menggunakan metode penelitian ilmiah membuktikan realitas kontradiktif itu. Siapapun dapat melihat. Silakan berjalan ke tempat keramaian. Lihatlah para pedagang. Mereka santai saja melabrak protokol kesehatan. Tidak ada rasa bersalah bahwa perilakunya merupakan mata rantai penyebaran Covid-19 hingga mempersulit upaya pemutusan pandemi.
Dengan lantang mereka meneriakkan pasar sepi karena pandemi. Tapi itu tadi tetap saja tanpa upaya atau ikhtiar berarti.
Cobalah ke pasar tradisional, akan terlihat kondisi lebih parah. Praktis hampir tak ada penjual memakai masker, apalagi cuci tangan dan jaga jarak.
Kondisi riil itu masih terus berlangsung. Bahkan ada kecenderungan makin parah karena kesalahpahaman tentang vaksinasi. Mereka berpikir vaksinasi seakan obat manjur satu-satunya memutus pandemi. Padahal vaksinasi tetap menuntut ketaatan penerapan Prokes.
Kontradiksi sosial itu seperti kurang tersentuh. Pemda yang berhubungan langsung dengan aktivitas keseharian mereka kurang aktif sehingga terkesan terjadi pembiaran.
Dengan ketersediaan jaringan informasi dan komunikasi antara lain melalui media sosial, jajaran pemerintah daerah, jika sedikit serius dapat mendorong ketaatan Prokes didasarkan kesadaran rasional. Mereka diingatkan tentang nilai penting Prokes dan persambungan dengan upaya pemutusan pandemi.
Silahkan berdagang tapi taat Prokes. Dan aparat perlu keseriusan, konsistensi serta tindakan tegas. Itu jika ingin kehidupan segera kembali normal.