Oleh : MH. Said Abdullah
Wacana Presiden tiga periode menjadi bola panas di tengah upaya gencar pemerintah melaksanakan vaksinasi Covid-19. Pandemi Covid-19 yang memporakporandakan kehidupan dunia, termasuk Indonesia ternyata tak menyurutkan perbincangan tentang politik kekuasaan.
Sejauh ini belum jelas apa sebenarnya latar belakang usulan Presiden dapat dipilih tiga kali (tiga periode). Sekedar balon percobaan atau memang sengaja dimunculkan untuk pengrusakan karakter Presiden Jokowi.
Siapapun yang melontarkan wacana Presiden Tiga periode, memperlihatkan perilaku politik pembodohan kepada masyarakat, disamping tentu saja sebagai bagian menciptakan citra buruk kepada Presiden Jokowi.
Mengapa dianggap pembodohan? Sangat terbuka sikap pemerintah sampai sekarang saja, tegas menolak perubahan UU Pemilu. Di sini saja tergambar sangat transparan persoalan riilnya. Jika UU Pemilu saja pemerintah pimpinan Presiden Jokowi bersikap menolak dirobah apalagi UUD 1945 terkait pasal Pemilihan dan periodesasi jabatan Presiden.
Siapapun memahami jalan panjang pembahasan UU Pemilu. Apalagi perubahan UUD 1945 terkait pemilihan dan periode jabatan Presiden.
Amandemen UUD 1945 bukan persoalan ‘ecek-ecek’ seperti merobah pasal peraturan setingkat Peraturan Presiden (Perpres). Namanya saja Undang-Undang Dasar. Merupakan hukum dasar, pijakan seluruh peraturan di negeri ini serta sangat terkait sejarah perjalanan Republik Indonesia.
Sulit mengingkari realitas normatif maupun fakta-fakta empiris bahwa Amandemen UUD di manapun di dunia ini, merupakan persoalan super sangat serius. Sampai saat ini jejak panjang Amandemen UUD 1945 masih membekas mewarnai berbagai perdebatan dan akan menjadi memori penting perjalanan sejarah negeri ini.
Karena itu, menjadi terasa aneh ketika kemudian muncul wacana perubahan pasal hanya demi sebuah kepentingan kekuasaan. Atas dasar pertimbangan apapun perubahan UUD 1945 hanya demi kepentingan ‘periodeisasi kekuasaan’ dapat menjadi preseden buruk perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
UUD adalah bingkai dan pedoman dasar seluruh peraturan di negeri ini. Ada kekentalan moral, jati diri serta ruh sejarah perjalanan Republik Indonesia. Totalitas pikiran kepentingan seluruh rakyat negeri –tanpa kecuali- menjadi konten batang tubuh keseluruhan UUD. Dapat dibayangkan dampak besar terhadap negeri ini jika bingkai itu kemudian dengan gampang dirobah hanya atas dasar kepentingan sebuah jabatan, apalagi lebih terkait sebatas periodesasi.
Presiden Jokowi merespon keras menolak usulan seseorang dapat memangku jabatan Presiden tiga periode. Wacana yang mengarah kepada dirinya itu antara lain disebut bermuatan cari muka. Serta, “Dapat menjerumuskan saya,” tegasnya.
Secara lebih rinci Presiden Jokowi juga mengingatkan bahwa amandemen UUD 1945 dapat melebar ke mana-mana antara lain pada soal wacana periode Presiden delapan tahun dan lainnya.
Penegasan Presiden Jokowi memperlihatkan jiwa kenegarawanan. Bahwa seharusnya UUD 1945 bahkan juga perundangan-undangan jangan terperangkap kepentingan sempit, bersifat sesaat serta bernuansa partisan sekelompok kekuatan politik.
Di tengah negara berhadapan persoalan pandemi Covid-19, ada baiknya seluruh konsentrasi pikiran dan sikap rakyat termasuk para elit perlu ‘jeda’ dari hiruk pikuk persoalan kekuasaan. Konsentrasi keseluruhan energi perlu diarahkan pada upaya menyelamatkan rakyat dari dampak dasyat pandemi Covid-19. Inilah persoalan rakyat dan bangsa Indonesia seperti juga rakyat seluruh dunia yang sangat mendesak untuk diselesaikan.