Oleh : Miqdad Husein
Bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar sepakat harus dikutuk keras. Atas dasar apapun dan oleh siapapun tindakan peledakan itu tidak dapat dibenarkan. Aparat kepolisian harus mengusut tuntas agar kejadian sejenis tidak terulang.
Siapa berada dibalik peristiwa peledakan jika terbukti dihukum seberat-beratnya. Aparat kepolisian perlu mengerahkan seluruh jajaran membongkar jaringan yang mengganggu toleransi dan kedamaian negeri ini.
Di luar proses hukum riil serta berbagai kecaman, kutukan dari para elite, organisasi, penting seluruh komponen bangsa ini menegaskan komitmen untuk sepenuhnya memerangi berbagai retorika dan tindakan bernuansa kekerasan mengatasnamakan agama. Termasuk pemanfaatan agama sebagai alat kepentingan politik.
Tidak ada kekerasan seperti terjadi di Makassar dan berbagai tempat sebelumnya di negeri ini tanpa didahului berbagai retorika provokasi kekerasan. Kekerasan bernuansa agama selalu merupakan akumulasi rentetan provokasi berbagai ujaran kebencian, retorika konflik, caci maki, sumpah serapah, fitnah dan lainnya.
Komitmen seluruh potensi bangsa perlu ditekankan karena masih saja di negeri ini ada segelintir elite yang secara tersirat maupun tersurat membenarkan, baik langsung atau tidak langsung retorika bernuansa kekerasan. Contoh paling riil ketika masih saja ada elite yang membenarkan kelakuan oknum pendakwah berisi sumpah serapah, caci maki, lontaran penghinaan serta sintaksis buruk lainnya.
Mungkin terasa aneh bagi mereka yang berpikir waras membenarkan melalui pembelaan, puji-pujian kepada orang-orang seperti Rizieq Shihab, Nur Sugih, Bahar Smith dan beberapa pendakwah provokator kebencian dan penyebaran fitnah lainnya.
Jika kalangan awam mungkin masih dipahami mengikuti mereka. Tetapi jika sosok-sosok yang identik provokasi kekerasan justru dibenarkan oleh elite politik yang hanya didasarkan kepentingan elektoral, akan sangat sulit mencegah berbagai tindak kekerasan seperti di Makassar.
Mengutuk kekerasan tapi memuji dan membela sumber retorika dan berbagai ujaran panas. Mengecam kekerasan tetapi asyik berkongkow ria demi kepentingan elektoral dengan mereka yang jelas-jelas seluruh perkataannya sesak ujaran kebencian dan provokasi kekerasan merupakan ironis tragis.
Semua tahu dari jejak digital Rizieq Shihab adalah pendukung ISIS, yang identik kekerasan mengerikan. Tapi aneh bin ajaib ada tokoh mantan pemangku jabatan tinggi di negeri ini justru memuji dan membelanya. Ada pula politisi bermanis-manis menyambut kedatangannya.
Terasa kontradiksi pula ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakrab-akrab manis dengan tokoh-tokoh HTI. Padahal jelas dan tegas HTI sangat anti Pancasila serta memiliki jejak buram di berbagai penjuru dunia.
Ayolah jangan sekedar mengutuk dan mengecam kekerasan sementara dalam keseharian menjadikan tokoh penabur sintaksis bibit kekerasan sebagai komoditas politik. Sebagai amunisi elektoral.
Bermain-main menggunakan politik identitas juga seharusnya dihindari para elit politik. Kasus Pilkada Jakarta, Pilpres 2019 cukup sudah menjadi pelajaran berharga betapa berbahayanya politik identitas. Rakyat terbelah dan sampai sekarangpun mereka yang menang terganggu dan yang kalah tetap hidup dalam alam kompetisi bersemangat kebencian.
Ketika elite yang berkompetisi telah duduk manis dalam perahu kekuasaan, akibat politik identitas keterbelahan masih merebak di tengah masyarakat. Selalu perlu waktu sangat lama mengembalikan keterbelahan masyarakat akibat politik identitas.
Di era media sosial seluruh masyarakat dan aparat hukum perlu konsisten memerangi hoax dan fitnah bernuansa kekerasan, provokasi, hoax, fitnah yang belakangan masih marak kelanjutan jejak-jejak buram politik identitas. Seharusnya tidak boleh lagi mereka yang tertangkap diselesaikan melalui materai 10 ribu. Mereka yang terbukti membuat dan menyebar hoax, fitnah kalau perlu dihukum mati.
Mungkin sepintas hukuman mati terlalu berat. Tetapi cobalah dicermati dampak dari hoax, fitnah bernuansa kekerasan. Sangat luar biasa. Kekerasan di Suriah, Yaman, Afghanistan contoh riil konflik yang antara lain disebabkan provokasi, hoax, fitnah bernuansa kekerasan.
Memerangi dan memberantas tindakan kekerasan, teror, tidak cukup sekedar mengecam dan mengutuk. Keseluruhan yang terkait seperti retorika kebencian, hoax, fitnah harus dilawan bersama. Demikian pula politik identitas perlu dikampanyekan agar tidak lagi tersebar di negeri ini.