Oleh: Miqdad Husein (*)
Seorang tokoh nasional yang terkenal peduli pada persoalan sosial mengungkapkan rasa heran terkait tradisi memberi karangan bunga. “Saya terperangah ketika anak menikah beberapa tahun lalu ada sekitar 170 karangan bunga ucapan selamat. Saya bangga? Tidak. Justru sedih,” katanya.
Dia lalu menghitung nilai rupiah karangan bunga. Jika dipukul rata setiap karangan bunga bernilai 500 ribu sampai 1 juta, keseluruhan bisa mencapai hampir 200 juta. “Sebuah kemubaziran terlihat jelas,” katanya, lagi.
Alangkah bermanfaatnya bila uang sebanyak itu diwujudkan menjadi makanan seperti beras dan lainnya. Akan jauh lebih bermanfaat. “Jangan lupa, karangan bunga kadang memberi nilai seremoni hanya sekitar 2 sampai 3 jam,”
katanya lagi, sambil mengelus dada.
Ironi lebih terasa lagi bila terkait suasana duka cita dalam bentuk ucapan belasungkawa. Karangan bunga seperti memajang deretan duka yang mungkin saja makin menenggelamkan kepedihan. Bantuan materi menjadi lebih berarti bahkan kepada mereka yang mampu sekalipun karena biasanya suasana duka membuat keluarga yang kehilangan dilanda kepanikan atau kegalauan.
Ketika diingatkan tentang nilai penting budaya penghormatan dan ucapan kebahagiaan antar sesama, tokoh yang dikenal ringan tangan itu menggeleng pelan. Rasa hormat dan ikut berbahagia serta duka cita lanjutnya, bisa diwujudkan dalam bentuk lebih praktis. Apalagi era digital seperti sekarang ini segala sesuatu terkait komunikasi sangat mudah.
Belakangan diakuinya ada orang menyelenggarakan hajatan tanpa bersedia menerima tanda kasih. Lalu muncul inisiatif para handai tolan mengirimkan bunga.
“Dari niat memang sangat mulia. Dan rasanya kemuliaan akan lebih sempurna bila diwujudkan dalam bentuk yang lebih bermanfaat,” tuturnya.
Pernah ada inisiatif sohibul hajat memberi alternatif lain. Para handai tolan yang akan mengirimkan bunga diinisiasi dan disarankan dirobah. Uang yang akan dibelanjakan untuk membeli bunga diusulkan dikirimkan ke lembaga sosial seperti Panti Asuhan. “Alhamdulillah, sebagian mulai menerima dan sangat senang sekali,” jelasnya, penuh binar.
Ia menuturkan, handai tolan yang setuju gagasan merobah ‘bunga’ menjadi lebih bermanfaat demikian bergairah. Mereka merasa mendapat kesempatan berbagi kebahagiaan.
Seorang kawan berlatar belakang ekonomi punya pendapat lain. Jika kebiasaan memberi bunga distop bukankah dapat mematikan usaha perbungaan?
Masuk akal. Namun mengurangi pemberian karangan bunga tak berarti menghilangkan areal bisnis bunga. Masih ada aktivitas lain yang memerlukan bunga dengan tingkat kepentingan yang jauh dari sekedar seremoni ucapan selamat. Pengurangan areal ucapan selamat hanya satu dari banyak areal penggunaan bunga. Masih banyak event dan aktivitas lain yang memerlukan bunga lebih dari sekedar seremoni singkat macam sebatas ucapan selamat.
“Gelisah” penuh nuansa kepedulian sosial ini menarik diwacanakan agar menjadi alternatif dalam setiap event hajatan atau suasana duka cita. Apalagi masih disadari banyak kalangan masyarakat di negeri ini membutuhkan hal-hal bersifat primer.
Gagasan itu dapat bermakna spiritual. Bernilai ibadah dalam wujud tasyakur bersemangat berbagi kebahagiaan dan memberikan dukungan kepada yang sedang berduka.
Jadi ketika sedang bergembira dan berbahagia tidak lupa menebar kebahagiaan kepada orang lain, yang masih membutuhkan. Juga memberikan suntikan moral kepada keluarga yang berbelasungkawa.
Berseremoni memang perlu asal tak berlebihan. Ketika ada subtansi yang jauh lebih penting terbentang di depan mata, mengurangi seremoni menjadi hal mendesak dan harus! (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.