Oleh : MH. Said Abdullah
Tindakan teroris selalu mengejutkan. Ledakan bom bunuh diri beberapa hari lalu, di Gereja Katedral, Makassar menyentakkan dan mengejutkan seluruh masyarakat Indonesia. Termasuk pula penyerangan Mabes Polri.
Demikianlah tindakan kekerasan teroris. Selalu tak terduga. Mengejutkan, memporak-porandakan ketenangan dan kedamaian.
Ketika seluruh masyarakat sibuk mengerahkan pikiran, tenaga mengatasi pandemi, melaksanakan vaksinasi, teroris menyelinap memanfaatkan kelengahan masyarakat. Kesibukan seluruh masyarakat menyelamatkan nyawa dari pandemi Covid-19 alih-alih dibantu malah dimanfaatkan untuk menebar teror peledakan bom bunuh diri.
Benar, pendapat yang mengatakan bahwa tindakan teroris sangat terorganisir. Sangat sistematis dan canggih dalam merencanakan teror. Selalu memanfaatkan teknologi terkini. Meneliti psikologi dan kondisi sosial masyarakat dalam mencari momen paling tepat.
Selalu tindakan teror dilakukan ketika masyarakat sibuk. Saat lebaran, saat natal, sekitar perayaan tahun baru, termasuk saat seluruh rakyat disibukkan upaya mengatasi pandemi Covid-19.
Mengaduk-aduk emosi dan kondisi sosial budaya masyarakat, memanfaatkan kelengahan adalah bagian dari kerja penting teroris. Karena tujuan utama mereka memang mengacaukan situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Ketika kepanikan terjadi, ketakutan menyelimuti, misi sebagian besar mereka tercapai. Dengan segala cara mereka kemudian meneruskan upaya merusak tatanan sosial.
Mekanisme kerja teroris itu penting dipahami agar masyarakat tidak terperangkap strategi mereka. Menciptakan kepanikan, ketakutan, kekacauan sosial adalah bagian dari proses kerja sistematis terorisme.
Bukan tanpa alasan jika aparat kepolisian dan berwenang lainnya melarang penyebaran akibat ‘tindakan’ teroris seperti darah tercecer dan lainnya. Penyebaran itu dapat menciptakan kengerian dan ketakutan. Jika disebarkan semua akibat tindakan teroris, sama saja secara tak langsung memberi peluang tercapainya tujuan teroris yaitu menciptakan ketakutan dan kengerian.
Di sini penting ketenangan masyarakat dalam merespon tindakan teror. Masyarakat luas jangan sampai larut dalam emosi pertentangan pendapat apalagi yang mengarah perpecahan.
Perdebatan tak perlu dibiarkan melebar misalnya apakah teroris beragama atau tidak. Ini dapat menimbulkan riak-riak hubungan sosial antar ummat beragama. Dan jika terjadi perpecahan tanpa disadari ‘kita’ telah menari di atas gendang yang ditabuh teroris. Karena itu jangan sampai masyarakat negeri ini terperangkap permainan adu domba teroris.
Tidak penting wacana apakah teroris beragama atau tidak. Yang mutlak dipahami dan perlu disepakati, tidak ada ajaran agama di dunia ini yang mengajarkan tindakan teror. Ajaran teror selalu merupakan penyimpangan dari ajaran agama apapun.
Agama memang selalu menjadi alat teroris dalam melakukan tindakan kekerasan. Mereka mengatasnamakan agama dalam melaksanakan teror. Inilah ironi terorisme. Sebab semua agama menolak tindakan kekerasan tapi agama selalu dijadikan alat pembenaran tindakan teror.
Penyalahgunaan agama terjadi karena kesalahan pemahaman dan manipulasi ajaran agama. Kesalahan pemahaman terjadi terutama karena kedangkalan pemeluk agama yang dimanfaatkan para tokoh teroris.
Manipulasi agama dilakukan oleh mereka yang secara obyektif memiliki tujuan besar seperti kekuasaan dan lainnya. Agama di sini hanya menjadi alat pembenaran dan bukan tujuan utama. Sebab tak ada ajaran agama membenarkan tindakan kekerasan.
Kejadian kesekian kali ini seharusnya makin menyadarkan seluruh kekuatan rakyat Indonesia untuk tidak terperangkap permainan adu domba teroris. Kita harus berada dalam satu barisan, tanpa membedakan agama, suku, baju partai politik, baju ormas dan simbol lainnya untuk menyatukan kekuatan memerangi terorisme. Jangan membiarkan sedikitpun ruang yang dapat dimanfaatkan teroris untuk merusak kebersamaan, persaudaraan dan kesatuan rakyat negeri ini. Teroris adalah musuh bersama seluruh rakyat Indonesia.