BANGKALAN, koranmadura.com- Perjuangan penyebaran agama Islam yang dilakukan para wali songo tak hanya berada di pulau Jawa. Jejak perjuangan untuk mengislamkan masyarakat juga sampai di pulau Madura. Melalui santri sunan Bonang yang diutus ke pulau garam, Imam Tendo atau yang lebih dikenal sebgai Sunan Maneron turut andil dalam proses penyebaran agama islam di wilayah Pantai Utara (Pantura) Bangkalan.
Kini, peninggalan sang mujahid berupa Masjid bisa disaksikan di Desa Maneron, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan.
Masjid yang diberi nama Baitur Rohman Al-Bonang tersebut merupakan salah satu masjid tertua dan bersejarah. Masjid tersebut pertama didirikan oelh Imam Tendo didirikan sekitar abad ke 15 – 16 Masehi.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, Imam Tendo datang ke pulau garam itu untuk mensyiarkan agama Islam pada penduduk. Setelah berkeliling di wilayah pantura, dirinya berinisiatif untuk membangun sebuah tempat salat.
Sekaligus, keinginannya untuk mendakwahkan ajaran Nabi Muhammad SAW di tanah Madura agar masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama hindu.
Meski pada tahun 2011, masjid tersebut banyak mengalami pemugaran. Namun, jejak perjuangan masih tampak nyata. Terlihat dari sebagian bangunan yang masih dilestarikan hingga kini, mulai dari mimbar untuk dakwah dan sebuah ukiran didalam masjid yang masih asli.
Ditambah, sebuah gentong milik Sunan yang biasa digunakan untuk meminum air.
Anehnya, di dalam masjid terdapat sebuah batu besar yang menjad petilasan Sunan Maneron. Hingga kini, batu tersebut tetap dibiarkan di dalam masjid. Sebab, batu tersebut tidak bisa diangkat saat dilakukan pemugaran. Masyarakat percaya, batu tersebut menjadi tempat duduk Imam Tendo saat mengajarkan Islam pada murid-muridnya.
“Batu ini tidak bisa dipindah, meskipun diangkat oleh orang banyak. Masyarakat lebih memilih untuk membiarkan batu ini,” terang Pengurus Masjid Jami’ Baitur Rohman Al-Bonang, Rustam Aji.
Pada atas mimbar, terdapat dua anak panah yang saling berhadapan. Lalu di tengah-tengahnya ada lambang roda yang memfilosofikan dalam urusan ubudiah harus seperti layaknya anak panah yang dilepaskan dari busurnya dengan tidak menunda-nunda urusan kebaikan.
“Kami secara turun-temurun selalu menjaga keberadaan masjid peninggalan Sunan Maneron, agar tetap lestari. Serta sebagai bentuk kecintaan kepada beliau sebagai sosok penyebar agama Islam di wilayah sini,” ungkapnya.
Di depan masjid, terdapat makam kerabat Sunan Maneron, yang kerap kali diziarahi oleh masyarakat. Mereka yang datang tak hanya dari Madura, melainkan dari Jawa seperti Tuban Surabaya dan lainnya. Akan tetapi, menurut masyarakat makam Imam Tendo sendiri berada di kecamatan Arosbaya tepatnya berada di dalam kompleks makam kerajaan Arosbaya.
Selain itu, di bagian teras masjid terdapat sebuah gentong peninggalan Sunan Maneron. Gentong tersebut bertuliskan ‘Gentong Agung Peninggalan Sinohon Muniron’. Masyarakat pun percaya, gentong peninggalan tersebut bisa membawa keberuntungan dan keselamatan. Airnya diambil dari sumur tua yang berada di kompleks masjid.
Setiap warga atau peziarah yang datang ke masjid, tidak akan melewatkan minum dari air gentong itu.
Bahkan, dalam sebuah kejadian, ada dua warga dari luar Desa Maneron terlibat suatu persoalan dan datang ke masjid peninggalan sunan maneron. Keduanya beriktikad meminum air dari gentong.
Masing-masing dari mereka bersumpah jika tidak berkata yang sebenarnya akan mati dalam waktu dekat. Tak selang berapa lama, salah satu dari keduanya mengalami kesialan dalam hidupnya sehingga meninggal. Masyarakat percaya jika kematian yang terjadi pada salah satunya akibat dari sumpah setelah meminum air dari dalam gentong.
“Memang ada cerita seperti itu, tapi ini kepercayaan dari masyarakat luar. Banyak warga yang datang ke sini dari luar Madura, seperti Tuban dan daerah lain untuk berziarah dan mencari berkah,” jelasnya.
Pada teras depan masjid juga terdapat sebuah pohon kemuning yang telah kering. Pohon ini tingginya sekitar 2,5 meter. Hingga kini, pohon tersebut dibiarkan tetap berdiri, karena tidak ada yang berani untuk membuangnya. Sebab, seorang tukang yang pernah berusaha memotongnya tiba-tiba sakit sehingga tidak bisa menggerakkan tangannya. Akhirnya, sang tukang ingat bahwa dirinya sakit usai memotong pohon keramat yang merupakan peninggalan Sunan Maneron, saat pemugaran masjid.
”Setelah pohon tersambung dan kembali berdiri kokoh, sakit yang diderita sang tukang berangsur membaik. Pohon itu dipasang kembali. Banyaknya kejadian di Masjid ini, masyarakat tidak berani mengotak-atik benda peninggalan Sunan Maneron,” ceritanya. (muj/ROS/VEM)