Oleh : Miqdad Husein
Selamat datang ramadan, marhaban ramadhan dan berbagai ucapan kegembiraan menyambut kedatangan bulan suci ummat Islam kembali bergema, beredar di media sosial, maupun jaringan komunikasi pribadi. Media elektronik dan cetakpun serta belakangan youtube, tak ketinggalan menyemarakkan dengan berbagai sajian bernuansa keislaman.
Sebuah kegembiraan bertaburan, mewakili ekspresi keimanan ummat Islam. Melupakan sejenak duka bencana, nestapa seperti di NTT, gempa di Malang dan sekitarnya serta perang yang masih berkecamuk di berbagai negara. Demikian pula, nestapa yang masih terasa akibat pandemi Covid-19 walau belakangan relatif membaik dan menumbuhkan optimisme melalui upaya vaksinasi.
Ramadhan memang selalu spesial. Kedatangannya selalu menyentakkan kalbu ummat Islam di berbagai penjuru dunia. Apapun kesibukan dan keruwetan serta duka seakan sejenak perlu ‘dilempar’ jauh-jauh demi kedatangan bulan ramadhan. Bukan melupakan, tapi menyelipkan kegembiraan di tengah duka dan nestapa untuk lebih membangkitkan gairah optimisme.
Perangpun tanpa perlu tim diplomasi biasanya berhenti. Semua seakan ingin ‘jeda’ dari berbagai aktivitas duniawi untuk menyegarkan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Demikianlah ramadhan dari waktu ke waktu. Sebuah momen yang selalu diharapkan menjadi titik awal kebaikan baru ketika manusia terlalu terperangkap berbagai persoalan kehidupan duniawi.
Ramadhan sekarang, di negeri ini kegembiraan tetap terasa walau suasana masih dalam pandemi. Memang, seperti tahun lalu, berbagai kegiatan ramadhan seperti sholat taraweh belum berjalan normal. Keharusan menjalankan protokol kesehatan tetap mutlak harus diterapkan agar pandemi Covid-19 segera berakhir.
Seperti di negara lain, berbagai suasana jauh dari normal itu tetap tidak mengurangi kegairahan masyarakat muslim Indonesia untuk menyambut kegembiraan ramadhan. Kalau toh terhalang hambatan faktor pandemi, selalu berbagai cara lain diupayakan dalam mengekspresikan kegembiraan menyambut ramadhan.
Tak ada acara berbuka bersama misalnya, disiasati dengan berbagai pembagian makanan ta’jil di jalan raya seperti pintu tol, halte dan tempat-tempat masyarakat singgah. Di depan masjid para pengurus mengerahkan remaja masjid membagikan ta’jil kepada masyarakat yang masih dalam perjalanan.
Kegembiraan menyambut ramadan, yang antara lain diisi berbagi dan peduli tetap dapat berlanjut walau dalam modifikasi berbeda. Yang terpenting di sini semangat beribadah dalam bentuk kepedulian tetap dapat terekspresikan dengan baik walau dalam suasana keterbatasan.
Semangat ramadhan itulah yang perlu terus dipelihara dan ditingkatkan sebagai upaya mewujudkan subtansi tujuan ibadah puasa ramadan. Rasa lapar dan haus sepanjang hari diharapkan menjadi upaya sungguh-sungguh meresapi penderitaan orang lain, yang dalam kehidupan keseharian serba kekurangan sehingga bangkit kepekaan dan kepedulian sosial.
Tentu pada taraf lebih menyeluruh puasa ramadhan diharapkan pula menyentuh keseluruhan perilaku manusia, agar dapat mengendalikan diri sehingga terhindar dari perbuatan mudharat. Mengembangkan sikap empati dan peduli pada sesama, mengedepankan perilaku santun, ramah penuh keadaban, serta tentu saja membuang jauh berbagai perasaan dan pikiran kebenciaan.
Demikianlah seharusnya ‘yang tersisa’ dari pelaksanaan ibadah puasa. Suasana kebatinan dan kemanusiaan makin tercerahkan pasca ramadan dan masyarakat negeri ini makin berkeadaban dan berperadaban. Marhaban Ramadan.