Oleh: Miqdad Husein (*)
Dalam sebuah pertemuan, di tengah silaturahmi lebaran terjadi dialong menarik. Seorang yang berlagak sebagai jurnalis bertanya kepada kerabat yang ada disekitarnya. “Anda suka kepada orang yang suka memaki-maki,” tanyanya, kepada seseorang. Dengan spontan, yang ditanya menjawab, tidak.
Kalau kepada orang yang suka sumpah serapah, menyampaikan lontaran kata-kata kasar? “Ya, jelas ngak suka lah. Orang demikian, kan tidak memiliki tata krama,” katanya, sangat tegas.
“Bagaimana jika ada orang yang suka menghina, melecehkan orang lain atau bahkan agama dan suku lain?” tanyanya lagi. Dengan bersemangat yang ditanya menjawab, “ Apalagi yang begitu. Dosa kan menghina apapun. Lebih-lebih menghina ciptaan Allah,” tuturnya.
Ketika kemudian yang ditanya, dikonfrontir, mengapa suka dan mengidolakan seseorang yang kalau ceramah memaki-maki, melontarkan sumpah serapah dan bahkan menghina sana-menghina sini, ia seperti terperangah. Mencoba mengelak menyebut bahwa itu amar ma’ruf nahi munkar. Namun ia seperti kelabakan ketika diingatkan bahwa tak ada ajaran Islam membenarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan gaya kasar apalagi menghina sana sini.
Terlihat ada kontradiksi cara berpikir dan bersikap. Di satu sisi dalam keadaan sadar mengakui bahwa memaki, sumpah serapah dan menghina itu tindakan salah. Namun di sisi lain mengidolakan sosok-sosok yang dalam keseharian berceramah dengan kata-kata dan ungkapan kasar serta berisiko melanggar hukum.
Fenomena kontradiktif itu merebak di tengah masyarakat. Ada seseorang yang disebut ustadz, yang ceramahnya bahkan banyak menyebar hoax dan fitnah, tidak hanya kasar sumpah serapah, memiliki pengikut puluhan ribu. Dielukan, dipuja-puja, dijadikan idola.
Membingungkan. Tapi itu realitas hidup di tengah masyarakat. Kontradiksi kasat mata. Berstatus ustads tapi kelakuan bertolak belakang secara terbuka. Anehnya dijadikan idola dengan pengikut serta pendukung relatif banyak.
Mereka menyadari secara parameter umum yang dilakukan sosok-sosok itu salah dan terbukti secara hukum. Tetapi, tetap menyukainya dan bahkan menjadikan sebagai idola, panutan. Apalagi ketika disebut sebagai seorang keturunan Nabi Muhammad SAW. Semua perilakunya dianggap sah walau bertolak belakang dengan akhlaq sosok agung Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan pemikiran dan perilaku dalam bersikap kepada seseorang itu, memang sulit dipahami. Variabel yang mempengaruhi dan mendorong perilaku kontradiktif itu sangat kompleks. Bisa terkait kualitas pendidikan, pemahaman keagamaan, bisa juga semacam katarsis politik.
Sebenarnya dalam hati kecil tidak suka berbagai akrobat ceramahnya namun karena merasa memiliki kesamaan sikap politik, lalu menganggap mewakili walau caranya salah. Ia sebenarnya merasa kebencian dan ketaksukaan –bentuk paling kasar- yang disampaikan para sosok yang segala sikap dan perilakunya jauh dari keadaban. Namun karena memiliki kesamaan dalam cara pandang politik, didukungnya.
Terlihat di sini, sebenarnya kecenderungan mengidolakan bersifat sangat semu. Bukan sebagai totalitas kesukaan, dukungan dan menjadikannya referensi kehidupan. Ada nuansa kepentingan ekspresi sikap politik yang merasa terwakili betapapun sebenarnya kurang menyukai cara penyampaiannya.
Contoh menarik lain tentang seorang Presiden Erdogan dari negeri seberang. Ia beretorika bagai pahlawan membela Palestina. Padahal secara terbuka dibalik pembelaannya bekerja sama sangat mesra dengan Israel.
Perilaku ambivalen alias munafik ini dijadikan idola membabi-buta atas dasar sikap keislaman. Sementara yang konsisten membela Palestina seperti pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi dinyinyirin. Benar-benar sebuah perilaku kontradiktif dan paradoks. Apalagi jika menggunakan parameter agama.
Di sinilah penting pemahaman dan pencerahan tata krama berkomunikasi (baca: dakwah), ekspresi sikap politik yang akhlaqul karimah, kritik konstruktif dan perbedaan dengan sumpah serapah, memaki, menghina serta menyebarkan hoax dan fitnah. Dengan pemahaman berbagai variable itu masyarakat tidak terjebak distorsi idola apalagi tergiring meniru perilaku buruk, yang jauh dari keadaban. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.