Oleh: Miqdad Husein (*)
Ungkapan arif bahwa puasa menahan lapar dan haus mudah, yang sulit mengendalikan diri memang tak terbantahkan. Betapa sulit mengendalikan diri menghadapi godaan memuaskan hasrat yang seringkali tidak berhubungan kepentingan peningkatan nilai puasa. Bahkan godaan hasrat yang jelas berbahayapun sulit dihindari. Apalagi yang sama sekali tak ada resiko.
Cobalah menyimak suasana mall dan pusat perbelanjaan belakangan ini. Menjelang hari-hari akhir puasa. Ramai luar biasa, masyarakat berbondong-bondong berbelanja kebutuhan pakaian lebaran.
Dalam kondisi normal gairah untuk merayakan Idul Fitri mungkin dapat dipahami. Tetapi kondisi sekarang, rasanya dari sisi manapun terasa sangat ironis.
Berdesakan di mall ketika pandemi Covid-19 masih mengancam merupakan kekonyolan luar biasa. Apalagi jika sekedar melengkapi aksesoris menyambut Idul Fitri. Jangan lupa juga, karena kondisi pandemi praktis perayaan Idul Fitri kemungkinan besar dilaksanakan sangat sederhana.
Pertemuan atau silaturahmi sangat terbatas. Sholat Idul Fitri pun di banyak daerah tidak dapat berlangsung di tempat terbuka seperti biasanya. Lalu apa pula kepentingan memaksakan diri menyiapkan kemeriahan pakaian baru segala.
Keinginan mudikpun dibatasi bahkan dilarang dalam kurun waktu seminggu sebelum lebaran. Ini artinya jika ingin bergembira di kampung dengan pakaian baru praktis terhalang.
Kondisi bahaya ancaman terinfeksi Covid-19, barang yang akan dibeli tak lagi memiliki nilai urgensi tinggi tetapi tetap saja, dalam suasana menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini masyarakat menerobos memaksakan diri. Kurang peduli ancaman bahaya Covid-19. Berbagai kasus kemunculan cluster pasca kerumunan tidak dipedulikan. Tragedi di India yang sangat mengerikan, yang dapat dilihat dan dibaca kasat mata tak mampu mengerem hasrat yang sebenarnya bukan kebutuhan primer.
Belum lagi jika sedikit serius memikirkan dampak pandemi terhadap berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, budaya dan terutama peribadatan. Semua bukankah dibatasi. Jadi mengapa masih memaksakan diri melabrak protokol kesehatan untuk hal yang tidak bernilai penting.
Lebih memprihatinkan lagi pada tingkat riil mereka seperti lupa atau tak peduli bahaya Covid-19. Seperti di Pasar Tanah Abang, ketika kerumunan demikian padat tak ada upaya menahan diri untuk balik, antri, mengatur diri dan tindakan pengamanan lainnya. Benar-benar lepas kendali.
Dorongan yang diniatkan menyemarakkan kegiatan keagamaan, sebut saja nawaitu ibadah akhirnya alih-alih mencapai tujuannya bahkan untuk taraf fiqihpun diabaikan. Bukankah sangat jelas ibadah sholat -ibadah terpenting Islam ditata di era pandemi demi keselamatan. Apalagi sekedar peribadatan seremonial Idul Fitri.
Melaksanakan kegiatan peribadatan serius seperti puasa, yang melatih kemampuan menahan diri akhirnya seperti tiada berbekas. Bahkan yang berbahaya bagi keselamatanpun dilabrak.
Semoga saja ini hanya sebagian kecil dari masyarakat negeri ini. Katakanlah kerikil di tengah upaya keras memutus pandemi. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.