SUMENEP, koranmadura.com – Pernikahan dini bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, masih dianggap sebagai sesuatu hal biasa (tradisi); tidak ada kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Sehingga, ke depan, Pemkab Sumenep perlu lebih gencar lagi memberikan edukasi kepada masyarakat, baik melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan maupun keperempuanan.
“Tapi pada dasarnya, terkait persoalan pernikahan dini, ini merupakan tanggung jawab semua pihak. Semua unsur masyarakat. Termasuk orang tua sendiri,” ujar Wakil Bupati Sumenep, Dewi Khalifah.
Pemerintah sendiri, menurutnya akan terus berupaya dengan menekan unsur terkait, termasuk pemerintahan desa bersama oknum, agar tidak sampai terjadi mark up data berkaitan dengan usia anak.
“Karena kenyataannya, terkadang, yang terjadi di bawah masih ada beberapa yang usianya tidak sampai tetapi pengajuan untuk akta nikah kadang masih ditunda, dan baru dikeluarkan ketika usianya sudah sampai (17 sampai 18 tahun),” ungkapnya.
Untuk itu Nyai Eva berharap kepada seluruh aparat desa maupun oknum agar lebih memperhatikan hak-hak reproduksi anak. “Karena kalau belum sampai mencapai usia dewasa, seseorang tidak akan memiliki kemampuan untuk menjadi seorang ibu dan menerima janin dalam rahimnya. Sehingga ini akan menyebabkan kehamilan risiko tinggi,” papar dia.
Selanjutnya Nyai Eva juga berharap agar masyarakat, khususnya para orang tua lebih memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Minimal sampai lulus SMA.
“Apalagi sekarang sudah banyak program beasiswa, sehingga anak-anak perempuan bisa melanjutkan pendidikannya sampai lulus S1,” tambahnya. (FATHOL ALIF/ROS/VEM)