Oleh : Miqdad Husein
Masih terlalu sering ditemukan kejadian masyarakat terinfeksi tidak melaporkan kepada Satgas Covid-19. Alasannya sering klise seperti malu, khawatir dikucilkan tetangga dan ketakutan berlebihan. Sebuah potensi penyebaran luar biasa terpampang sangat jelas!
Jika mereka masih tertib melaksanakan protokol kesehatan setelah terbukti terinfeksi seperti langsung mengisolasi diri serta berusaha tidak berinteraksi dengan masyarakat lainnya mungkin masih bagus. Namun sering seseorang atau keluarga terinfeksi karena masih merasa segar, tidak menunjukkan gejala, tetap saja berinteraksi di lingkungan masyarakatnya. Lebih berbahaya lagi karena masyarakat sekitarnya tidak mengetahui tetap bersikap biasa, tidak menjaga jarak.
Ada kasus sebuah keluarga terinfeksi tetap memanggil layanan servis internet. Untung beberapa tetangga mengetahui dan dapat mencegah sehingga petugas layanan servis tidak jadi masuk ke rumah keluarga yang sedang isolasi mandiri. Kasus lain, sebuah keluarga kebetulan dikunjungi kedua orangtuanya relatif lama. Mereka sekeluarga ternyata terkena musibah terinfeksi covid-19. Tidak ada laporan kepada RT apalagi RW. Lebih memprihatinkan lagi orangtua yang berkunjung dan sedang terinfeksi dibiarkan pulang ke daerah tinggal tanpa penanganan medis.
Kasus kedua jelas berpotensi menyebarkan lebih luas. Dalam perjalanan, sangat mungkin menularkan kepada orang lain. Belum di lingkungan rumah tempat bersangkutan tinggal serta masyarakat sekeliling, yang tidak mengetahuinya. Potensi penyebaran kembali mengintai.
Berbagai persepsi dan perilaku masyarakat yang terasa konyol jelas sangat berbahaya dan menjadi penyebab eskalasi penyebaran Covid-19. Sebuah perusahaan yang sangat disiplin pernah kebobolan karena salah satu karyawan terinfeksi tidak melakukan langkah isolasi mandiri. Tanpa menunggu lama 15 orang karyawan lain terpapar covid-19.
Bisa dibayangkan jika yang terbukti telah terinfeksi saja masih melakukan kebiasaan keseharian tanpa langkah isolasi mandiri. Apalagi, mereka yang tanpa gejala (OTG). Mereka kadang tidak peduli diri dan orang lain. Kasus Kudus, Bangkalan dan masih banyak lagi, titik pemantik kadang sangat sederhana: sikap mengentengkan. Tidak peduli. Menganggap sepele. Alih-alih berpikir keselamatan orang lain, untuk perlindungan diri saja mereka jauh dari sikap peduli.
Kejadian pahit di Bangkalan merupakan contoh ekstrim tentang sikap mengentengkan dan ketakpedulian. Langkah ketat pemerintah melakukan swab paling simpel antigen, di Suramadu bukan didukung malah oleh sebagian masyarakat dilawan dan dilabrak. Beberapa pengendara sepeda motor melabrak pembatas menghindari langkah petugas.
Mereka, seharusnya menyadari mobilitas masyarakat dari Surabaya-Bangkalan dan sebaliknya jika salah satu daerah ternyata terjadi peningkatan terinfeksi tinggi, eskalasi penyebaran bisa sangat menghawatirkan. Langkah Pemerintah Surabaya, yang melakukan swab bertujuan sangat jelas untuk melokalisir dan memetakan penyebaran. Tujuannya melindungi masyarakat dan mengurangi peningkatan terinfeksi. Tapi lagi-lagi di sini terjadi ironi. Sebagian dari mereka, jangankan berpikir keselamatan orang lain, terhadap diri sendiri saja tidak peduli.
Seorang Kiai di Bangkalan sempat menyampaikan ceramah mengingatkan tentang penyebaran Covid-19 di Bangkalan. Ia secara terbuka menceritakan nasib keluarganya, beberapa orang, meninggal menjadi korban Covid-19. Berbagai pengalaman ceramah di berbagai masjid di Bangkalan pun, yang menemukan kengerian juga diceritakan. Misalnyam bagaimana acara tahlil di beberapa kecamatan sempat hanya dihadiri tak sampai 20 orang. Bukan karena kurang bergairah bertahlil tetapi demikian banyaknya masyarakat meninggal akibat terinfeksi Covid-19 sehingga yang bertahlil tersebar ke beberapa rumah.
Perilaku berkatagori konyol itu, mudah ditemui di manapun; baik di perkotaan apalagi di lingkungan kampung-kampung. Berbagai pemberitaan tentang kejadian terinfeksi, kematian massal ternyata tidak mendorong tertib melaksanakan protokol kesehatan.
Peningkatan terinfeksi belakangan sehingga Wisma Atlit kembali mencapai hunian lebih 80 persen, menjadi contoh riil hasil kekonyolan perilaku masyarakat. Gelombang kedua di India, yang menimbulkan malapetaka kemanusiaan mengerikan ternyata tidak menggugah masyarakat menahan diri. Demikian pula kasus di Malaysia, Singapaura, Australia yang bisa diakses mudah tidak menjadi pelajaran. Memaksa mudik, berkerumun halal bi halal, pernikahan dan berbagai acara pertemuan tetap berlangsung tanpa sikap tertib menerapkan Prokes.
Berharap pandemi berakhir tapi tetap berlaku konyol, jelas sulit terwujud. Entah kapan pandemi akan berakhir jika kekonyolan masih terus berlangsung.