Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Keputusan pemerintah memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat hingga tanggal 5 Agustus mememiliki dasar rasional obyektif dan proporsional. Indikasi pandemi masih memperlihatkan fluktuasi terinfeksi relatif tinggi, terutama dalam jumlah angka meninggal dunia.
Secara obyektif diakui ada penurunan walau belum signifikan. Yang memberikan harapan dan kabar gembira tingkat kesembuhan terinfeksi memecahkan rekor dan termasuk tertinggi di dunia. Saat ini Wisma Atlit sudah mulai menurun tingkat keterisian, demikian pula rumah sakit, terutama ruang ICU semakin banyak yang mulai kosong.
Perkembangan memberikan harapan ini memang perlu dijaga dan diupayakan lebih sungguh-sungguh lagi agar penurunan sekurangnya mendekati angka terendah sebelum pandemi gelombang kedua. Keputusan pemerintah memperpanjang PPKM Darurat merupakan bagian dari langkah kehati-hatian melanjutkan upaya pemutusan pandemi yang perlu didukung seluruh rakyat Indonesia melalui konsistensi penerapan protokol kesehatan serta kesediaan aktif untuk segera divaksin.
Berbeda dengan perpanjangan PPKM Darurat sebelumnya, pemerintah memang memberikan kelonggaran secara perlahan di daerah, yang memperlihatkan penurunan signifikan, yang masuk katagori zona kuning dan hijau. Penggunaan standar level 1 sampai 4 diharapkan mempermudah pemberlakuan PPKM Darurat secara proporsional sesuai perkembangan fluktuasi pandemi.
Pelonggaran berhati-hati didasarkan realitas fakta obyektif perkembangan pandemi, memang perlu dilakukan pemerintah. Bagaimanapun, PPKM Darurat dari tanggal 3 sampai 20 Juli saja ditambah perpanjangan sampai tanggal 25 Juli telah menimbulkan dampak ekonomi yang sangat terasa terutama kepada pedagang sektor informal dan UMKM. Apalagi ditambah perpanjangan sampai tanggal 5 Agustus.
Sekalipun dari sejak awal telah diusulkan perpanjangan sampai tanggal 5 Agustus, pemerintah memang selayaknya mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat terutama sektor informal dan UMKM, yang jumlah angkatan kerja informal saja mencapai hampir 60 persen. Jika tanpa mensiasati dengan memberikan sedikit ruang bernafas dikhawatirkan masyarakat selamat dari Covid-19 namun terperangkap kesulitan ekonomi.
Restoran yang mulai diizinkan pelanggan makan di tempat misalnya, serta diizinkan pusat perbelanjaan dibuka didaerah yang relatif membaik, dengan batasan waktu ketat, dapat menjadi solusi kompromi antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Tentu tetap dengan keharusan menerapkan protokol kesehatan sangat ketat.
Memang sempat muncul berbagai komentar bernada “nyinyir” terutama tentang batasan waktu makan di restoran 20 menit. Pembatasan waktu itu sempat menjadi perbincangan dan dijadikan candaan, meme-meme, terutama di media sosial. Berbagai video sindiran bertebaran di media sosial dan juga media mainstream.
Sebenarnya batasan waktu lebih sebagai peringatan tentang betapa penting menghindari duduk-duduk santai, mengobrol berlama-lama di restoran. Intinya mengingatkan perlu kehati-hatian saat menikmati makanan di restoran. Sebab, momen itu merupakan salah satu paling berbahaya terjadi penularan Covid-19. Apalagi varian Delta yang disebut para ahli, berpapasan saja jika tidak memakai masker dapat terjadi penularan.
Saat makan di restoran masker sudah pasti dibuka. Ketika berlama-lama mengobrol, bercanda ria dan lainnya, jika salah satu saja pengunjung sedang terinfeksi, potensi penularan kepada pengunjung lain sangat besar.
Pembatasan 20 menit tergolong sangat longgar jika diukur dari sejak mulai makan. Beberapa test percobaan membuktikan dengan makan santai saja, tanpa tergesa-gesa, waktu yang diperlukan tidak sampai 10 menit. Jadi, 20 menit merupakan waktu jauh lebih dari cukup dan sekali lagi semangat pembatasan waktu yang terpenting bertujuan mengingatkan perlunya kehati-hatian ketika sedang makan di restoran. Protokol kesehatan memakai masker, jaga jarak dan cuci tangan tetap diterapkan secara ketat.
Kebijakan pemerintah memang perlu mempertimbangkan keseluruhan aspek baik kesehatan, ekonomi maupun persoalan sosial lainnya. Pandemi memang merupakan fenomena kompleks, yang penanganannya sangat tidak mudah. Sampai hari ini, praktis tidak ada negara yang sepenuhnya berhasil mengendalikan pandemi Covid-19. Negara seperti Amerika Serikat, yang segala fasilitas kesehatan terlengkap dan tercanggih, Jerman, yang sudah menvaksin 62 persen warganya, Singapura, kembali menghadapi kenyataan pahit peningkatan terinfeksi. Belum lagi negara Thailand, Turki, Iran, Rusia, yang saat ini seperti Indonesia sedang bergulat dan berjibaku mengatasi pandemi.
Pemerintah perlu dikritisi dan diawasi kinerjanya agar lebih optimal. Memberikan masukan konstruktif dan terutama dukungan dalam mengatasi pandemi perlu dilakukan siapapun, termasuk kekuatan politik, yang berada di luar kekuasaan.
Mengatasi pandemi memerlukan kebersamaan seluruh kekuatan, tanpa kecuali. Ibarat perahu negeri ini sedang menghadapi badai. Seluruh penumpang tanpa kecuali harus bahu membahu. Jika salah satu penumpang mengganggu upaya penyelamatan, sehingga perahu terhempas, seluruh penumpang tanpa kecuali akan tenggelam.
Pandemi secara langsung menimpa orang per orang dalam jumlah massal. Sudah tentu penanganannya, tidak hanya tergantung pemerintah. Kesadaran masyarakat mematuhi berbagai kebijakan pemerintah dan petunjuk para ahli menerapkan protokol kesehatan menjadi faktor sangat penting keberhasilan penanganan pandemi. Sekali lagi terlihat jelas urgensi kebersamaan seluruh kekuatan masyarakat, untuk bahu membahu berusaha memutus pandemi. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.