Oleh : Miqdad Husein (*)
Ada pertanyaan menggelitik, tentang penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Berhasilkah, pemerintah pimpinan Presiden Jokowi mengatasi pandemi? Atau, dapatkah disebut gagal atau kurang berhasil berdasarkan data terinfeksi?
Tidak mudah menjawab pertanyaan yang terkesan sederhana ini. Banyak varian parameter, yang perlu dicermati secara obyektif, apalagi jika ingin dibandingkan dengan negara lain. Ya jumlah penduduk, keragaman budaya, ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, termasuk tingkat kedisiplinan masyarakat.
Faktor lain, yang perlu dipertimbangkan keragaman keterikatan keagamaan masyarakat, yang di negara lain tidak ada masalah, di negeri ini ternyata memberi pengaruh riil. Lihatlah, kebijakan PPKM Darurat, yang melarang sholat wajib, Jumat dan Idul Adha, ternyata karena pemahaman keagamaan, masih saja ada yang tetap bersikeras menolaknya. Ini juga terjadi di Jakarta, yang dianggap masyarakatnya memiliki pendidikan relatif baik. Tapi, begitulah faktanya.
Secara obyektif sebenarnya sampai hari ini praktis tidak ada negara di dunia, yang sepenuhnya mampu berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19 dan berbagai varian mutasi baru. Singapura, yang hanya berpenduduk tak sampai enam juta, yang sebelumnya akan berdamai dengan Covid-19 telah memutuskan membatalkan karena kembali terjadi peningkatan penyebaran terinfeksi. Amerika Serikat, negara dengan kelengkapan fasilitas kesehatan terbaik di dunia, kembali menghadapi peningkatan luar biasa kasus terinfeksi Covid-19 varian baru Delta.
Jerman, yang telah menvaksin 62 persen warganya, juga tak mampu mencegah peningkatan penyebaran baru. Negara tetangga Thailand, belakangan kelabakan menghadapi peningkatan luar biasa, masyarakat terinfeksi Covid-19 sehingga nyaris mengalami malapetaka seperti India. Kematian di jalan, karena tidak mendapat rumah sakit, mulai terjadi di Thailand. Negara jiran Malaysia yang berpenduduk hanya sepersembilan Indonesia, jauh lebih kompleks dalam penangan pandemi.
Indonesia dibanding Singapura, Malaysia, Thaeland dan Jerman jelas berbeda jauh dari sisi apapun. Belum lagi persoalan kedisiplinan masyarakat, jumlah penduduk, ketersediaan fasilitas kesehatan, problem geografis serta keragaman budaya ditambah keragamanan persepsi keterikatan keagamaan. Jelas penanganan pandemi di Indonesia jauh lebih kompleks.
Sayangnya, kompleksitas masalah di Indonesia tidak mampu menyadarkan dan mendorong seluruh potensi kekuatan untuk bersama-sama mengatasi pandemi. Berbagai langkah pemerintah seringkali diganggu kritik sebatas bernuansa sensasi. Belakangan bahkan mulai merebak berbagai provokasi melibatkan massa.
Demontrasi di Bandung dan beberaa daerah lain, yang menolak perpanjangan PPKM Darurat memberi gambaran riil tentang gangguan penanganan pemutusan pandemi. Formal, bisa jadi izin demo di Bandung misalnya, bertujuan menolak perpajangan kebijakan pemerintah. Namun yang terjadi di lapangan memperlihatkan keaslian tujuan mereka. Yang diteriakkan bukan lagi soal PPKM melainkan revolusi. Terlihat jelas kan?
Di Jakarta tanggal 24 Juli sempat beredar informasi tentang rencana demo bertajuk Jokowi End Game. Demo di Jakarta ini, gagal dilaksanakan karena aparat bertindak lebih sigap mencegah mereka. Bukan terkait demontrasi tetapi tindakan aparat sepenuhnya mempertimbangkan upaya seluruh komponen bangsa dalam mengatasi pemutusan pandemi.
Tentu saja, berbagai hiruk pikuk bernuansa politik memperlihatkan betapa menyedihkan moralitas siapapun yang berdiri di belakangnya. Mereka bukan hanya mengganggu upaya pemulihan, yang memerlukan kerja simultan seluruh masyarakat. Lebih parah lagi, tega sekali mereka mengorbankan anak-anak muda, menjadi calon korban terinfeksi Covid-19. Bagaimanapun demontrasi merupakan kerumunan potensial menjadi sumber penyeberan Covid. Terbukti, dari sekitar 150 demonstran yang diperiksa di Bandung, tiga orang ternyata positif Covid.
Inilah ironi memilukan perilaku segelintir politisi petualang negeri ini. Mereka sama sekali seperti tidak memiliki nurani. Teriakan mempertanyakan antara lain keberhasilan PPKM Darurat dengan melakukan tindakan kontradiktif, yang mengganggu pelaksanaannya jelas membingungkan. Mereka menuntut keberhasilan PPKM Darurat tapi merusak pelaksanaan dengan melabrak protokol kesehatan. Aneh kan?
Makin jelas, berbagai aktivitas belakangan ini, sepenuhya merupakan upaya memanfaatkan pandemi demi memuaskan syahwat politik. Mereka hanya berpikir kepentingan kekuasaan tanpa peduli penderitaan masyarakat, yang seluruh kehidupannya terdampak pandemi Covid.
Pandemi adalah realitas sosial luar biasa, yang upaya mengatasinya memerlukan kebersamaan dan kerja seluruh masyarakat. Pandemi selalu menyerang langsung keseluruhan kehidupan masyarakat. Karena itu, mengatasi pandemi, disamping memang memerlukan kemampuan penanganan pemerintah, mutlak diperlukan partisipasi aktif masyarakat sendiri.
Hampir tidak mungkin, sehebat apapun sebuah pemerintahan dapat langsung menangani person to person persoalan kedisiplinan dalam penerapan protokol kesehatan. Di sinilah subtansi kebersamaan seluruh masyarakat dalam mengatasi pandemi.
Jadi, siapapun -tidak hanya pemerintah- perlu berbuat. Minimal tertib Prokes diri sendiri dan orang-orang terdekat. Itu jika kebijakan dan keputusan apapun dari pemerintah diharapkan berhasil. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.