Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Mencermati hiruk pikuk soal kritik kepada Presiden Jokowi dari segelintir mahasiswa BEM UI, bagi yang berpikir rasional sebenarnya merupakan hal biasa. Tidak ada yang spesial dari keseluruhan konten kritik. Presiden Jokowi sendiri tersenyum menanggapi kritik itu. Sebuah penegasan sangat jelas konsistensi Jokowi dalam menghadapi kritik.
Jadi, jika kemudian dianggap inkosisten, pernyataan tidak sesuai omongan oleh BEM UI, di sini saja sudah tidak terbukti. Jokowi tetap menanggapi biasa saja kritik BEM UI. Tetap bersedia menerima kritik sebagaimana sering dilontarkannya. Jadi, masalahnya di mana?
Tak ada masalah. Jika toh terkesan membuat ramai lebih karena pemberitaan media dan media sosial serta berbagai langkah kurang mengayomi dari kalangan Rektorat UI. Seharusnya kritik mahasiswa direspon biasa saja. Mereka biarlah belajar mengekspresikan diri dalam menyampaikan pemikiran. Tidak perlu sampai diperlakukan secara khusus.
Sebenarnya, jika dikaji lebih dalam lagi, kritik BEM UI hanya pada judul saja ‘Jokowi King of Lip Service’ yang terkesan bombastis. Itu memang pilihan kata, yang mampu mengundang minat untuk membaca keseluruhan kritik. Sebuah strategi komunikasi yang sangat baik sehingga sekaligus mendorong masyarakat membaca seluruh isi kritik. Dan ketika membaca keseluruhan kritik itulah, terlihat betapa inkonsiten justru terlihat jelas pada kelakuan mahasiswa khususnya pendemo (yang membuat rusuh, anarkis).
Sengaja dipertegas tentang mahasiswa pendemo anarkis karena tak semua mahasiswa yang berdemo bertindak rusuh dan anarkis. Masih sangat banyak dan hanya segelintir saja mahasiswa yang terpancing rusuh serta anarkis terutama mereka yang diduga ditunggangi atau memang terkontaminasi kepentingan pikiran dan perilakunya.
Menarik membaca point pertama kritik BEM UI. Mereka menyebut demo dulu direpresi kemudian. Ini mengacu pernyataan Jokowi yang meminta didemo tapi kata segelintir mahasiswa BEM UI dalam kenyataannya seperti represi aparat di demo Omnisbus Law, May Day 2021, yang berakhir ricuh.
Pada point ini terlihat logika “ngawur” mereka. Sudah pasti demo ditindak jika buat rusuh, bikin kerusakan, anarkis. Demo damai, tak pernah ada yang ditangkap. Demo rusuh, anarkis jelas harus ditindak. Jangan lupa, selalu kerusuhan demo terjadi setelah pukul 18.00 wib, batas waktu yang ditentukan UU. Jadi, salahkah aparat menindak para pendemo yang bikin rusuh dan anarkis apalagi telah melanggar batas waktu seperti ditegaskan pasal dalam UU. Adakah bukti mahasiswa demo damai sampai pukul 18.00 wib, yang ditangkap? Bersikaplah jujur.
Point kritik kedua soal revisi UU ITE. Ini lebih lucu lagi. Presiden Jokowi justru meminta produk hukum era SBY direvisi karena ternyata telah banyak makan korban. Sorotan pada pasal berita bohong dianggap pasal karet oleh segelintir mahasiwa BEM UI.
Ini logika kurang piknik mahasiswa. Semua elemen masyarakat yang berpikiran jernih mengetahui betapa dasyat sebaran hoaks, fitnah di masa Pilkada Jakarta dan puncaknya Pilpres 2019. Hoaks, fitnah telah membuat masyarakat Indonesia terbelah. Lalu, salahnya dimana jika revisi UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 kemudian akan mencamtumkan ancaman pada pembuat, penyebar hoaks dan fitnah.
Di berbagai negara maju, pemberitaan tanpa bukti alias hoaks, fitnah bukan perkara main-main. Para pembuatnya siap-siap dipidana dan mengganti rugi jika ada tuntutan perdata.
Terkait soal bohong ini, pernyataan kritik mahasiswa agak menghawatirkan. Paradigma mereka terkesan membenarkan penyebaran berita bohong, hoaks, fitnah, yang secara riil sangat berbahaya. Belajar dari kasus Saracen, yang memiliki 800.000 akun penyebar hoaks dan fitnah, para mahasiswa BEM UI harusnya menyadari bahaya hoaks, fitnah dan berita bohong. Ada apa ini kok mahasiswa membenarkan kelakuan manipulatif?
Point ketiga janji Jokowi perkuat KPK. Ini lagi-lagi, masih juga salah sasaran. Di satu sisi ingin membuat KPK mandiri, tapi di sisi lain mendorong Presiden Jokowi intervensi KPK. Jadi, bagaimana? Jangan lupa pimpinan KPK itu dipilih DPR. Presiden mengesahkan pimpinan KPK hasil dari pemilihan di DPR.
Terakhir terkait gugatan Omnibus law, UU Nomor 11 tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi. Presiden Jokowi memang mempersilahkan masyarakat menggugat ke MK. Apa yang salah ketika kemudian pemerintah merespon dengan argumen di MK mempertahankan konsepsinya. Maunya mahasiswa BEM UI lembaga MK langsung memenuhi permintaannya?
Ini pengadilan. Harus ada penghadiran kedua belah pihak penggugat dan tergugat. MK sudah pasti akan memanggil meminta keterangan kedua belah pihak. Wajar saja, pihak yang berkepentingan bertarung dalam pengadilan. Menjadi masalah jika pemerintah misalnya intervensi ke MK. Apa iya, MK mau diintervensi.
Jadi, dari empat point kritik segelintir anak BEM UI, memperlihatkan kedangkalan dan jauh dari rasional serta sangat memprihatinkan terutama soal demo anarkis dan kecenderungan pembiaran hoaks, fitnah dan berita bohong. Dengan kritiknya mahasiswa BEM UI jelas secara tak langsung telah mentoleir kerusuhan, tindakan anarkis serta hoaks, fitnah dan berita bohong. Mau dibawa kemana negeri ini jika berbagai pikiran dan tindakan kekacauan dibiarkan. Kata Cak Lontong, mikir. (*)
*Ketua Banggar DPR RI