Oleh : Miqdad Husein
Kebiasaan bercanda masyarakat kadang memang keterlaluan. Terlalu sering berbagai kasus serius bahkan berurusan kematian dijadikan bahan candaan. Bukan hal aneh bila ditengah bencana, musibah kecelakaan dan peristiwa nestapa lainnya selalu menyelinap keisengan dari segelintir orang.
Yang terbaru terkait soal serius perbincangan batas waktu 20 menit makan di restoran yang ditentukan pemerintah terkait perpanjangan PPKM Darurat. Meme-meme bermunculan baik berbentuk gambar maupun video serta komentar-komentar tertulis bernuansa canda. Masih lumayan jika berisi kritik konstruktif walau bernuansa humor seperti mempertanyakan tentang efektivitas peraturan itu.
Seorang gubernur, memberikan contoh terkesan main-main tentang makan mie, yang katanya, kalau 20 menit bisa ngos-ngosan. Sebuah pernyataan sangat ‘memprihatinkan’ terlontar dari seorang kepala daerah setingkat provinsi. Bukannya mengarahkan masyarakat, berusaha menjelaskan agar mentaati malah menjadikan sebagai candaan.
Terlihat si gubernur berbicara lebih atas dasar artifisial alias permukaan serta bernuansa canda dengan pilihan ‘kata’ nya. Lebih terlihat konyol lagi ketika menu yang dicontohkan mie instan. Makanan, yang tak perlu harus datang ke restoran bahkan cukup di kantor dengan meminta tolong dibuatkan oleh petugas dapur.
Sebenarnya bagi mereka yang terbiasa makan cepat, waktu 20 menit terlalu lama. Sementara, bagi mereka yang terbiasa makan lambat pun, masih memadai kecuali jika disertai bincang-bincang santai, merokok dan lainnya. Jadi, jika makan saja, untuk masyarakat Indonesia, waktu 20 tetap sangat memadai.
Durasi 20 menit, jauh lebih dari cukup untuk kebutuhan waktu makan jika mulai dari sejak mengambil menu atau menu disiapkan oleh petugas restoran. Kecuali memang untuk makanan yang dimasak terlebih dahulu memang perlu waktu lebih lama.
Tapi, di luar perdebatan murahan itu seperti disebut dr. Tompi, yang membuat gregetan mencermati sikap bercanda berlebihan masyarakat. Ini katanya, bukan soal durasi waktu. Subtansi pesan 20 menit menegaskan “jangan berlama-lama di restoran” karena berpotensi menjadi sumber penyebaran Covid-19. Itu intinya dan bukan persoalan 20 menit.
Ada kepentingan menyelamatkan masyarakat dari nestapa terinfeksi Covid-19. Pertimbangannya jelas bukan soal ecek-ecek tetapi menyangkut keselamatan nyawa manusia. Restoran, tempat berkumpul termasuk areal sangat berbahaya penyebaran Covid-19. Tak hanya karena membuka masker ketika menikmati hidangan, juga kecenderungan berbincang hingga lupa bersikap waspada.
Di sini bisa dipahami jika dr Tompi kesal. Urusan menyelamatkan nyawa dari bahaya terinfeksi Covid-19 justru dijadikan candaan. Pengaturan itu, walau terkesan remeh temeh, sejatinya sangat serius. Pesannya bukan soal waktu 20 menit, melainkan jangan berlama-lama di restoran. Kalau perlu beli, bungkus lalu bawa pulang, makan di rumah atau di kantor, jauh dari kerumunan, demi keselamatan terhindar terinfeksi Covid-19.
Soal berada di restoran memang ada kecendeungan masyarakat masih belum bisa membedakan bagaimana seharusnya dalam menikmati makanan. Coba cermati cara makan di restoran cepat saji modern. Pola makan yang sebenarnya dirancang praktis, singkat, tidak berleha-leha, justru dijadikan tempat nongkrong berlama-lama. Bukan hal aneh di restoran cepat saji ditemukan pengunjung sambil makan membuka laptop lalu utak-atik berlama-lama.
Untuk restoran cepat gaya Indonesia, ada Restoran Padang, bersemangat sama untuk melayani secara cepat dan singkat, tanpa berleha-leha. Tapi, lihatlah dalam keseharian. Masih banyak menjadikan restoran Padang, menjadi tempat kongkow-kongkow. Duduk santai berlama-lama.
Mempermainkan atau memandang persoalan waktu secara santai agaknya menjadi penyakit masyarakat yang perlu pengobatan ekstra. Ini gambaran riil tentang rendahnya kedisiplinan masyarakat. Sebuah perilaku budaya, yang di era sekarang ini, bisa menjadi hambatan utama menghadapi persaingan apapun, yang semakin keras di dunia ini.
Berbagai acara resmipun dalam keseharian masih mudah ditemukan praktek jauh dari tepat waktu alias ‘ngaret.’ Demikian kental jam karet sampai ada istilah sindiran bahwa selama Indonesia masih mengekspor karet, selama itu jam karet masih terjadi.
Seorang pembicara Bimtek DPRD tertawa lepas ketika penyelenggara berbasi-basi meminta maaf, acara terlambat dimulai karena peserta belum masuk ruangan. “Sudah biasa pak. Lebih dari 25 tahun mengajar Bimtek, belum pernah sekalipun acara berlangsung tepat waktu,” katanya.
Masyarakat perlu belajar dari Korea yang mencapai kemajuan seperti sekarang. Korea ketika berbenah yang pertama dilakukan menerapkan kedisplinan menepati waktu. Mereka belajar dari disiplin masyarakat Jepang, yang selalu tepat waktu. Ketika masyarakat Korea ingin mengejar ketertinggalan dari Jepang, slogan dan semboyan mereka bukan ayo tepat waktu. Mereka memakai semboyan bahwa ‘tepat waktu terlambat’ sebagai cara mengejar ketertinggalan dari Jepang. Kalau bersemboyan tepat waktu seperti Jepang, masyarakat Korea merasa tak akan pernah mampu mengejar ketertinggalan.
Nah, masihkah terus sibuk membincangkan urusan makan 20 menit dan bukan berusaha menerapkan dan mentaati pesan subtansinya? Rasanya, jauh lebih baik jika aturan itu jadi titik awal mengembangkan kedisiplinan seperti diperlihatkan Korea dalam menghadapi persaingan dengan Jepang. Menyelamatkan diri dari Covid-19 sekaligus berusaha bersikap disiplin mentaati waktu.