JAKARTA, koranmadura.com – Indonesia secara resmi keluar dari resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2021 sebesar 7,07 % secara year on year (YoY). Angka ini lebih besar dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2021 sebesar 0,74% YoY. Secara kuartalan atau quarter-to-quarter (qtq), ekonomi tumbuh 3,31%.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah mengapresiasi kinerja tim ekonomi dan keuangan (Ekuin) pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berhasil membawa Indonesia secara resmi keluar dari resesi ekonomi.
“Dengan pencapaian tumbuh sekitar 3,31% untuk pertama kalinya, perekonomian kita keluar dari zona resesi sejak kuartal II 2020. Pencapaian ini patut kita syukuri dan memberikan semangat bagi kita untuk memulihkan ekonomi kita yang diterpa pandemi covid19,” ujar Said di Jakarta, Jumat, 6 Agustus 2021.
Menurutnya, jika dilihat dari data BPS tersebut, banyak sektor yang tumbuh sebagai dampak kebijakan pemerintah selama kuartal 1 tahun 2021. Salah satunya kebijakan diskon pajak (PPNBM) sehingga perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya, tumbuh sebesar 37, 88% (y o y).
Di samping itu, di sektor primer seperti perikanan dan peternakan juga memgalami pertumbuhan cukup besar. Sektor perikanan tumbuh 9,69% (y o y) dan peternakan tumbuh 7,07% (y o y). Sektor industri pengolahan yang menyumbang 19,29% PDB juga tumbuh signifikan. “Industri pengolahan tumbuh 6,58% (y o y),” ulasnya.
Politisi senior PDI Perjuangan ini memaparkan, desain APBN 2021 yang melanjutkan kebijakan counter cyclical juga berdampak bagus terhadap sektor konstruksi. Sektor ini tumbuh besar sebagai dampak dari realisasi belanja pemerintah pada konstruksi yang naik sebesar 50,22% pada tahun 2021 ini.
Sektor lain yang juga menyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga keluar dari resesi ialaj transportasi dan pergudangan. Sektor ini tumbuh 25,10% (y o y), sumbangan terbesarnya adalah pertumbuhan angkutan udara yang mencapai 137,74%, dan angkutan rel 67,19%.
“Sejalan dengan pertumbuhan sektor transportasi, sektor hotel dan restoran juga tumbuh 21,58% (y o y). Perhotelan tumbuh 45,07% dan restoran tumbuh 17,88%,” imbuhnya.
Dari sisi pengeluaran, lanjut Said, tingkat konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 57% PDB keluar dari zona resesi. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93%, jika pada kuartal sebelumnya masih -2,22%. Bahkan pencapaian konsumsi rumah tangga ini melebihi pencapaian disepanjang tahun 2019 dan 2020.
Meski di banyak sektor mengalami pencapaian yang menggembirakan, namun ia memgingatkan masih banyak pekerjaan yang harus dihadapi pada dua kuartal mendatang di tahun 2021.
Salah satunya, sejak 3 Juli 2021 hingga rencananya 9 Agustus 2021, pemerintah kembali memberlakukan kebijakan PPKM di sejumlah wilayah. Saat ini masih banyak daerah yang menerapkan PPKM level 4. Kebijakan ini sebagai langkah pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan covid19 yang mulai naik di bulan Mei 2021.
“Saya memperkirakan kebijakan ini akan mengakibatkan pelambatan ekonomi kita di kuartal III 2021 dan akan masuk ke level kontraksi 1,7- 2%,” jelasnya.
Agar tingkat kontraksi ekonomi pada kuartal III 2021 tidak terlalu dalam, maka pemerintah harus disiplin mencapai target penurunan Covid-19 dengan kebijakan PPKM. “Dengan keberhasilan pengendalian Covid-19 dan PPKM tidak diperpanjang, maka saya perkirakan pada kuartal IV 2021, pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke zona positif, pada kisaran 4,7 -5,2%,” ulasnya.
Kemudian, seiring makin besarnya tingkat kasus positif Covid-19 di desa-desa, ditambah dengan data BPS yang menunjukkan sektor pertanian, khususnya tanaman pangan terkontraksi 8,16%, maka pemerintah harus memgantisipasi agar tidak berdampak serius terhadap ketahanan pangan nasional.
“Sebab bila kasus positif Covid-19 di desa-desa meningkat di tengah pertumbuhan tanaman pangan yang terkontraksi, khawatir akan berdampak ganda. Layanan kesehatan di desa-desa tidak sebanyak di kota dikhawatirkan akan berakibat pada tingkat fatalitas akibat Covid-19 lebih tinggi dan suplai pangan nasional terganggu. Oleh karena itu, keduanya harus diantisipasi oleh pemerintah,” tegasnya.
Kemudian untuk mengantisipasi dampak pelaksanaan PPKM, pemerintah harus mengefektifkan program bantuan sosial, khususnya untuk keluarga miskin. Langkah ini untuk mengantisipasi kemungkinan kontraksi kembali terhadap tingkat konsumsi rumah tangga.
“Untuk menopang rumah tangga menengah atas, pemerintah perlu mendorong kebijakan insentif perpajakan yang memungkinkan spending mereka lebih besar lagi, agar tingkat konsumsi rumah tangga terjaga dengan baik di zona positif pada kuartal berikutnya,” urai dia.
Sementara seiring dengan meningkatnya laju ekspor dan impor, di mana pada kuartal II 2021 ekspor tumbuh 31,78% (y o y) dan impor tumbuh 31,22% (y o y), menurut dia pemerintah perlu mengantisipasi agar berbagai kegiatan ekspor impor yang menopang PDB dari sisi pengeluaran cukup tinggi, seperti kelangkaan peti kemas, layanan Customs Excise Information System and Automation (CEISA) pada Ditjen Bea Cukai, tidak lagi bermasalah. Termasuk berbagai kegiatan pungli yang sempat ditemukan oleh Presiden Joko Widodo.
Pemerintah juga perlu mengantisipasi kebijakan tapering off (pengetatan moneter) yang rencananya akan dilakukan oleh The Fed pada Oktober 2021 mendatang, bila ekonomi Amerika Serikat (AS) menunjukkan perbaikan.
Hal tersebut perlu diantisipasi karena pemulihan ekonomi AS juga bisa mendorong kemungkinan capital outflow pada pasar keuangan nasional yang konsekuensinya akan menekan rupiah.
“Namun peluangnya potensi ekspor nasional akan meningkat. Sebab AS adalah pasar ekspor tradisional kita. Total ekspor kita ke AS pada tahun 2021 sebesar 12% dari total ekspor,” ungkapnya.
“Sekali lagi, saya minta pemerintah menjaga momentum pertumbuhan ekonomi kita di sepanjang tahun 2021 agar dapat bertahan pada kisaran 3,3-3,8% dengan mempertimbangkan segala tantangan yang akan kita hadapi pada dua kuartal mendatang,” tambah wakil rakyat kelahiran Sumenep, Madura, itu. (Alif/SOE/VEM)