Oleh : MH. Said Abdullah
Dalam sebuah perbincangan santai muncul pertanyaan menggelitik tentang dinamika partisipasi masyarakat Indonesia membantu atau menolong sesamanya. “Mengapa saat pandemi seperti sekarang, tidak muncul gempita menggalang sumbangan seperti ketika ada masalah di Palestina. Bukankah kondisi saat sekarang ini, karena pandemi Covid-19, banyak masyarakat terdampak secara ekonomi,” kata salah seorang yang hadir.
Seorang teman lain menambahkan dan mengingatkan bahwa saat ini secara riil sebagian masyarakat Indonesia jauh lebih membutuhkan dibanding kondisi ketika ada berbagai peristiwa di Palestina. Mereka di sana karena perang, ada konflik kepentingan. Sementara, saat ini, tambahnya lagi, kondisi masyarakat benar-benar terdampak pandemi, yang sama sekali berada di luar perhitungan manusia manapun.
“Yang berada di negeri ini seharusnya lebih mendapat perhatian ketimbang yang jauh. Oh ya, bukankah ada hadist Nabi Muhammad yang menegaskan bahwa bersedekah yang lebih baik kepada kerabat terdekat, dibanding yang jauh di sana,” kata yang bertanya pertama, menambahkan.
Perbincangan memang berlangsung hangat tentang soal menyumbang. Apalagi ketika ada yang menyeletuk menyinggung kasus sumbangan dua trilyun, di Sumatra Selatan. Karuan suasana tambah ramai ketika salah seorang yang berbincang menyodorkan lembaran koran berisi kegaduhan sumbangan, yang ternyata sampai sekarang belum jelas wujud uangnya.
Harus diakui tradisi menyumbang, perilaku kepedulian masyarakat negeri ini memang sangat luar biasa. Berdasarkan laporan World Giving Index (WGI) oleh Charities Aid Foundation (CAF) tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia menempati posisi puncak, berturut-turut tahun 2017 dan 2018. Ini makin menegaskan bahwa kegairahan dan semangat memberikan sumbangan memang riil menjadi karakter masyarakat Indonesia.
Bung Karno, sebenarnya seringkali menegaskan bahwa salah satu karakter hebat masyarakat Indonesia adalah semangat gotong royong. Semangat bahu membahu dalam hal apapun. Semangat itu menjadi karakter dasar, watak utama, masyarakat Indonesia, yang sampai hari ini masih melekat kuat. Demikian kuatnya sehingga berbagai perbedaan politik, beda partai, beda agama, beda suku, sama sekali tidak mempengaruhi semangat kegotong royongan masyarakat Indonesia.
Pemilu boleh panas karena perbedaan pilihan misalnya. Tetapi demikian ada musibah, ada bencana, semua perbedaan mencair dan kembali menyatu menjadi energi gotong royong untuk saling bahu membahu. Kejadian seorang yang hanya memiliki uang lima ribu, masuk ke restoran Padang, di Garut beberapa waktu, demikian viral di tengah masyarakat langsung ada yang berinisitif menggumpulkan dana. Tidak perlu waktu lama, telah terkumpul uang lebih dari seratus juta rupiah. Luar biasa.
Pertanyaan teman yang pertama, mengapa terasa lebih heboh ketika ada peristiwa Palestina dalam persoalan sumbangan dan terkesan kurang gairah serta bahkan hampir tak ada ‘gejolak’ pengerahan pengumpulan sumbangan ketika sebagian masyarakat Indonesia sendiri sedang menderita terdampak Covid-19, kemungkinan lebih pada persoalan teknis. Diyakini semangat membantu antar sesama masih tumbuh subur dan terus berlangsung. Mungkin perbedaannya lebih pada suasana gempita, yang lebih terasa ketika ada tragedi di Palestina.
Banyak informasi yang mudah diperoleh di media sosial dan media mainstream tentang berbagai aktivitas pemberian bantuan kepada masyarakat terdampak Covid-19. Semua organisasi kemasyarakatan di negeri ini, terjun dalam berbagai aksi kepedulian. Dunia usahapun tanpa kecuali ikut membantu vaksinasi melalui Vaksinasi Gotong Royong. Jadi, secara riil aktivitas menyumbang dan saling membantu di tengah pandemi terus berlangsung sebagai ekspresi riil karakter dan watak gotong royong masyarakat Indonesia.
Yang barangkali diperlukan adalah bagaimana suasana gempita penggalangan sumbangan seperti ketika terjadi di Palestina, perlu pula digaungkan. Apalagi diketahui banyak masyarakat yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi. Katakanlah sebagai bagian membantu dan manambah bantuan sosial (Bansos) dari pemerintah. Apalagi, pandemi telah berlangsung lebih dari satu tahun, sehingga kebutuhan membantu masyarakat terdampak pandemi sangat mutlak urgensinya.
Jika saat terjadi tragedi di Palestina masjid-masjid, tokoh-tokoh kalangan Islam demikian bersemangat mengumpulkan sumbangan, tentu perlu pula digerakkan di masa pandemi sekarang ini. Semua sebenarnya lebih sebagai keseimbangan sikap sehingga tidak muncul seperti pertanyaan teman-teman, yang terkesan menganggap kurang arif. Mereka berpikir mengapa yang jauh demikian semangat dibantu sementara, yang di depan mata, kurang mendapat perhatian.
Sejauh ini, masih lebih sebagai persoalan teknis pelaksanaan karena diyakini semangat saling membantu tetap berlangsung sekalipun tanpa gempita seperti ketika terjadi tragedi Palestina. Tentu agar tidak berkembang berbagai prasangka, kalangan mereka yang demikian bersemangat menggalang sumbangan ketika terjadi tragedi di Palestina, perlu pula bersikap sama dalam kondisi masyarakat, yang saat ini terdampak pandemi.
Ada pernyataan yang mengatakan jika yang jauh saja dibantu, apalagi yang dekat. Jika masyarakat Palestina dibantu apalagi masyarakat Indonesia sendiri. Sebuah penegasan positif yang melegakan. Namun rasanya penting diperlihatkan kegairahan dan semangat menggalang sumbangan seperti ketika ada tragedi Palestina agar tidak merebak prasangka liar. Bukankah penderitaan masyarakat terdampak pandemi di negeri ini jauh lebih terasa dan berlangsung relatif lama.