Oleh : MH. Said Abdullah
Di tengah momentum masyarakat Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke 76 sebuah peristiwa politik besar bernuansa konflik keras terjadi di Afghanistan. Pasukan Taliban kembali menguasai pemerintahan Afghanistan setelah melalui pertarungan bersenjata berkepanjangan. Afghanistan tak urung dikhawatirkan makin tenggelam dalam ketakpastian. Sebuah situasi yang -semoga saja tidak- akan terus membawa masyarakat dalam kecamuk jurang nestapa berlumur darah dan air mata.
Mungkin ada segelintir masyarakat Indonesia terpesona terhadap kemenangan Taliban, yang dianggap membawa bendera Islam. Mereka adalah kalangan yang masih terobsesi utopia tanpa dasar tentang negara Islam dan khilafah. Sebuah langgam pemikiran dan perilaku politik, yang lebih mengedepankan syahwat berkuasa melalui jalan pintas, merusak sistem, ketimbang kepentingan kehidupan kesejahteraan masyarakat.
Mereka hanya melihat aspek simbolis keislaman dan menutup mata rentetan perjalanan Afghanistan yang praktis hampir tidak pernah mengalami kehidupan damai relatif panjang. Perang saudara terus berkecamuk menorehkan duka dan nestapa seakan tanpa henti, tidak menjadi pertimbangan kearifan. Ironisnya, agama terpapar seakan menjadi tameng untuk pembenaran saling bunuh, yang membuat kehidupan sepanjang waktu selalu mencekam.
Tidak banyak sebenarnya suku-suku di Afghanistan. Hanya sekitar empat suku yang secara riil sulit duduk bersama. Bandingkan dengan negeri ini, yang memiliki lebih dari 1340 suku dengan keanekaragaman bahasa serta yang paling mendasar warna warni keterikatan agama. Dan, selama 76 tahun sejak merdeka praktis tidak pernah ada konflik yang memporakporandakan seluruh negeri seperti di Afghanistan.
Di sinilah siapapun yang merasa masih menjadi warga negara Indonesia perlu membuka mata hati, pikiran serta perilaku dengan belajar dari konflik berkepanjangan Aghanistan. Presiden Jokowi saat berkunjung ke Afghanistan beberapa waktu lalu, sebenarnya secara representatif sangat jelas memberi pembelajaran tentang nilai indah kedamaian. Ketika itu pimpinan Afghanistan secara terbuka meminta bantuan pemerintah Indonesia mendamaikan berbagai konflik berdarah yang praktis tak pernah berhenti.
Pesan kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan sangat jelas memaparkan tentang dua kondisi berbeda. Betapa berat dan mengerikan kondisi konflik di Afghanistan sehingga menimbulkan penderitaan panjang seluruh rakyatnya. Sementara, terpampang indah kedamaian Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dalam atmosfir persaudaraan, persatuan dan kesatuan NKRI.
Aghanistan adalah buku terbuka tentang perjalanan sebuah negara yang hampir sepanjang waktu di era modern ini terperangkap konflik berkepanjangan. Sejak lepas dari invasi Uni Soviet dalam kemenangn Mujahidin, kedamaian sangat semu dan kadang hanya dalam durasi waktu pendek. Tidak aneh jika kemenangan Taliban sekarang ini tetap dikhawatirkan justru akan memperpanjang konflik dan kekerasan.
Tanda-tanda dapat terlihat jelas dari reaksi sebagian masyarakat Afghanistan merespon kemenangan Taliban. Eksedus besar-besaran masyarakat untuk ke luar Afghanistan bagai air bah, menutup jalan-jalan utama menuju bandara dan perbatasan. Mereka agaknya merasa sulit berharap kedamaian dan ketentraman. Apalagi jejak kekuasaan Taliban dari 1996-2001 masih menyisakan trauma luar biasa.
Afghanistan pada momen peringatan hari kemerdekaan ke 76 menyampaikan pesan besar pertama tentang betapa mahal kedamaian, persatuan dan kesatuan. Kondisi indah itu bernilai sangat mahal melebihi kepentingan atas nama apapun apalagi jika dibandingkan sekedar memaksakan syahwat kekuasaan memanipulasi ajaran suci agama.
Kedua, kesepakatan pilihan sistem politik negeri ini, seharusnya dilihat fakta obyektif dan manfaat riil serta tidak sekedar diukur persepsi moral ideal simbolik. Apalagi yang sebenarnya lebih merupakan agenda memaksakan nafsu berkuasa mengatasnamakan moral agama.
Indonesia telah menyepakati sistem Demokrasi Pancasila, yang memberi kesempatan seluruh masyarakat secara luas mengekspresikan sikap politiknya. Sejauh ini, paling tidak, dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila, Indonesia makin mampu mengembangkan kehidupan kedamaian, persatuan dan kesatuan. Dengan segala kekurangan dan kelebihan demokrasi Indonesia telah mendapatkan apresiasi dunia serta secara internal mampu menjadi instrumen pergantian kekuasaan.
Ketiga, perlu lebih memperkuat mentalitas kemandirian dalam seluruh sektor kehidupan baik politik, ekonomi, budaya dan lainya. Persoalan kemandirian ini sangat tegas dan jelas telah diingatkan oleh Proklamator Bung Karno. Kemandirian merupakan modal dasar kedewasaan bersikap sehingga tidak mudah menari di atas gendang kepentingan negara lain.
Kemandirian akan memacu semangat berpikir kepentingan seluruh bangsa dan negara. Secara moral akan mampu mengendapkan nafsu mementingkan diri sendiri sehingga lebih berusaha mengedepankan kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas segalanya.
Perbedaan, ketakpuasan selalu ada. Namun, ketika kemandirian demi negeri ini demikian kokoh, tidak akan tergoda provokasi siapapun, disertai moralitas berpikir demi kepentingan bersama.
Afghanistan di momen kemerdekaan negeri ini sekali lagi memberi pelajaran berharga tentang nilai kedamaian, persatuan dan kesatuan. Sebuah pelajaran yang diharapkan menyadarkan semua komponen bangsa bahwa kemerdekaan menjadi tidak berarti tanpa kedamaian, persatuan dan kesatuan.