Oleh: Miqdad Husein (*)
Ketika banyak kalangan meminta mewaspadai kemenangan Taliban, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersikap sebaliknya. JK, panggilan akrab Jusuf Kalla justru bersikap manis dengan memberikan berbagai pernyataan memuji Taliban. “Saya percaya Taliban lebih moderat,” katanya, seperti dikutif berbagai media.
JK juga mengatakan, merasa yakin Afghanistan kondusif meski Taliban berkuasa. Berbagai pujian tentang Taliban pun mengalir deras.
Demikian bersemangat JK menyambut kemenangan Taliban hingga lupa memikirkan apa dan bagaimana dampaknya terhadap situasi di dalam negeri. Bandingkan dengan pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Boy Rafli Amar yang mengingatkan, penggulingan Taliban atas pemerintah Afganistan berdampak pada pergerakan di tanah air.
BNPT, lanjutnya, mendeteksi adanya pergerakan di media sosial (medsos) terkait penggalangan simpatisan atas kemenangan Taliban. “Pihaknya mewaspadai pergerakan tersebut, karena dapat menimbulkan aksi terorisme. Negara harus mengantisipasi, agar jangan sampai salah menyikapi kemenangan Taliban ini,” tegas Boy Rafli.
Dari kacamata normatif, pernyataan JK yang pernah menduduki jabatan resmi dua kali sebagai Wakil Presiden jauh dari kepatutan. Taliban sangat jelas merebut kekuasaan sah, yang merupakan produk hasil pemilu. Ini artinya, JK memberikan pembenaran terhadap pemberontakan Taliban yang berpotensi menenggelamkan Afghanistan kembali dalam perang saudara.
Pernyataan JK itu menimbulkan tanda tanya, apa tujuan sebenarnya. Sekedar meraih simpati kalangan Islam garis keras, yang masih menyimpan berbagai hasrat berkuasa dengan konsepsi dasar penolakan pada demokrasi seperti dilakukan HTI, untuk kepentingan 2024. Atau sekedar menunjukkan eksistensi sebagai ekspresi post power syndrome; sindrom pasca kekuasaan.
Apapun alasannya, pembenaran dan pernyataan ‘manis’ kepada Taliban yang merebut kekuasaan melalui cara pemberontakan adalah tindakan berbahaya yang tak selayaknya keluar dari seorang sekaliber JK. JK, yang pernah menjadi pejabat resmi dari hasil pemilu demokratis telah serta merta bersikap kontradiktif tanpa memperhitungkan dampak sosial dari kondisi masyarakat Indonesia, yang masih mudah ditemukan riak-riak kekerasan sewarna perilaku politik Taliban.
Memang sempat beredar berbagai opini bahwa Taliban sekarang berbeda dengan mereka yang berkuasa sebelumnya. Dahlan Iskan misalnya, menyebut Taliban sekarang disebut menolak bantuan ISIS dan Hizbut Tahrir dan ingin lebih mengedepankan keislaman inklusif.
Ini sebuah optimisme berlebihan. Dari cara merebut kekuasaan saja sudah melabrak tatanan demokrasi. Sudah pasti jika awalnya saja salah, sangat sulit berharap kebenaran pada taraf berikutnya. Belum lagi –karena cara salah- sudah pasti akan menimbulkan perlawanan serupa dalam bentuk perang dan kekerasan.
Tak perlu terlalu lama. Pasukan Mujahidin Afghanistan pimpinan Khair Muhammad Andrabi, tak sampai seminggu kini sudah kembali merebut tiga distrik Pol-e-Hesar, Dh Salah dan Banu, Baghlan yang sebelumnya dikuasai Taliban. Demikian pula Wakil Presiden hasil pemilu telah pula melakukan perlawanan. Sebuah bukti riil sangat sulit berharap perebutan kekuasaan oleh Taliban akan membawa negara itu stabil seperti dikatakan JK. Tampaknya JK lupa bahwa dalam dunia politik, yang benar saja bermasalah apalagi yang menggunakan cara salah.
Optimisme Taliban sekarang akan inklusif juga menyederhanakan masalah. Jejak buram panjang Taliban, jelas sangat sulit berubah dalam waktu singkat. Ideologi mereka telah mengental kuat terekspresikan berbagai tindak kekerasan. Pemahaman keagamaan super ekslusif, jelas tidak akan berubah seperti membalik tangan. Dan terbukti berbagai tindak kekerasan pasca perebutan kekuasaan sampai saat ini masih terus berlangsung dilakukan tangan-tangan Taliban baik resmi maupun tak resmi.
Karena itu, dengan alasan apapun, menyikapi Taliban seharusnya tidak tergesa-gesa baik memuji maupun memberikan kecaman. Mereka yang hanya memiliki kepentingan langsung seperti Cina, Rusia dan mungkin juga Iran sebagai bagian dari geopolitik dan kepentingan ekonomi, silahkan saja bersikap spontan. Tentu sebuah pertaruhan resiko yang mungkin akan sangat mahal.
Bagi Indonesia, Taliban dengan jejak panjang buram dapat menjadi insprasi buruk terkait tindak kekerasan atas nama agama Islam. Jelas, Taliban seperti akan menyiram sel-sel kekerasan, yang tertidur. Usaha pemerintah mengembangkan Islam inklusif, ramah, damai, berpotensi kemungkinan terganggu. Sangat bisa dipahami jika kalangan berpikir panjang mengingatkan perlu mewaspadai apa yang terjadi di Afghanistan.
Di poin inilah mengapa berbagai pernyataan manis JK dinilai sangat berbahaya. JK secara tak langsung telah memberikan pembenaran untuk menjadikan Taliban inspirasi atau contoh perebutan kekuasaan melalui cara-cara kekerasan. Sayang memang, seorang mantan pejabat resmi justru memberikan pembenaran terhadap tindakan merebut kekuasaan melalui tindakan kekerasan mengatasnamakan agama. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.