Oleh :Miqdad Husein
Seluruh kebijakan publik di negeri ini selalu mengacu nilai-nilai agama. Norma agama menjadi standar atau parameter yang tak bisa ditawar. Jika sesuai dapat dijalankan, jika tidak sejalan akan ditolak dan sulit dilaksanakan walau dipaksakan. Apalagi jika terkait langsung kehidupan masyarakat.
Obat, makanan dan berbagai aktivitas lain misalnya, khusus untuk umat Islam perlu mendapat penegasan halal atau haram dari lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan penegasan formal dari MUI itulah masyarakat muslim Indonesia menyikapi berbagai hal terkait aktivitas sosial terutama yang memerlukan kejelasan aspek hukum (fiqih) dari sudut pandang agama.
Setiap tahun masyarakat Indonesia selalu mengkritisi soal vaksinasi para calon jamaah haji. Disamping soal keamanan apakah vaksin yang disuntikkan kepada calon jamaah haji tidak mengandung zat-zat yang diharamkan ajaran agama Islam.
Di masa pandemi ini vaksinasi untuk mengatasi penyebaran Covid-19 sebelum dilaksanakan pada 13 Januari 2021 lalu, harus mendapat penegasan MUI aspek kehalalannya. Atau, apakah vaksin jika memang mengandung barang haram dapat tetap diterapkan dengan pertimbangan keadaan darurat. Selalu acuannya agama.
Demikianlah, yang selama ini berlangsung di tengah masyarakat Indonesia terutama di kalangan umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Suka atau tidak suka, cepat atau lambat, seperti vaksin, yang dimasukkan dalam tubuh umat Islam harus jelas haram dan halalnya.
Legitimasi agama ini sudah menjadi bagian keseharian kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan secara sosialpun peran lembaga agama seperti MUI, termasuk pula ormas Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah serta lainnya, memberi pengaruh signifikan jika misalnya ada program pemerintah, seperti vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid.
Tidak dapat dipungkiri pengaruh dan peran lembaga-lembaga keagamaan sangat strategis dalam mendukung keberhasilan program pemerintah. Sulit membayangkan jika vaksinasi untuk mencegah penyebaran Covid misalnya tidak atau kurang mendapat dukungan organisasi keagamaan. Hampir bisa dipastikan program vaksinasi pemerintah akan berjalan seperti keong, tersendat-sendat.
Saat ini saja, dalam kasus vaksinasi Covid-19 sekalipun hampir seluruh ormas Islam memberikan dukungan formal dan informal bahkan simulasi langsung berbagai partisipasi lembaga Islam, masjid-masjid, hambatan bernuansa keagamaan masih mudah ditemukan. Masih relatif banyak para tokoh agama, yang bersikap menolak upaya vaksinasi. Mereka biasanya merupakan tokoh agama, yang tidak terkait dengan berbagai ormas Islam.
Yang layak dicermati berbagai penolakan seringkali tidak memiliki pijakan fiqih apalagi kajian keilmuan kesehatan. Berbagai sikap penolakan sering bersumber informasi jauh dari kejelasan bahkan hampir seluruhnya merupakan hoax yang kadang dibumbui nuansa politik. Misalnya, tudingan vaksinasi menyimpan agenda tersembunyi untuk menghabisi atau untuk mencelakai umat Islam. Jadi, menganggap vaksinasi sebagai senjata lawan. Sudah pasti jika terpola cara pandang ‘bermusuhan” sulit menerima vaksinasi.
Menghadapi masyarakat yang terpengaruh hoax dan fitnah apalagi disampaikan serta diteriakan tokoh agama, sangat tidak mudah apalagi disebar melalui media sosial yang sulit dikontrol. Masyarakat yang terprovokasi dan terpengaruh bersikap sangat keras menolak vaksin. Bahkan jika dijadikan persyaratan mekanisme penerimaan Bansos mereka lebih memilih kehilangan haknya.
Penolakan lain karena faktor ketakutan akibat miskomunikasi dan misinformasi. Menghadapi masyarakat korban distorsi informasi ini, masih relatif mudah. Dengan kesabaran pemberian penjelasan serta penegasan jaminan kepentingan kesehatan, pelan-pelan biasanya mereka akan tergerak untuk melaksanakan vaksinasi.
Masyarakat Indonesia memang berciri paternalistik dengan warna khas keagamaan keislaman. Karakter ini di satu sisi mempermudah berbagai kegiatan sosial dengan melibatkan para tokoh agama. Penghormatan dan ketaatan kepada tokoh agama, mempermudah terlaksana berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Namun di sisi lain, karakter paternalistik berpeluang sebaliknya ketika para tokoh agama yang jadi panutan bersikap menantang atas dasar itu tadi- informasi hoax. Eksodus masyarakat yang menolak vaksin bisa bergelombang relatif besar. Fakta-fakta sosial inilah yang sampai sekarang masih harus dihadapi pemerintah sehingga memperlambat vaksinasi.
Pimpinan Nahdatul Ulama KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir dalam berbagai kesempatan selalu memberikan penjelasan panjang lebar. Ya penjelasan bahwa Covid-19 itu riil ada, bukan konspirasi, perlu langkah vaksinasi agar masyarakat selamat, vaksinasi itu merupakan langkah medis bertujuan melindungi dan lainnya. Semua bertujuan merespon berbagai komentar para tokoh agama, yang masih berpikir dan bersikap jauh dari proporsional menyikapi pandemi Covid.
Bisa dipahami jika Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas merasa perlu mengingatkan para tokoh agama agar menjadi contoh bagi umatnya dalam pencegahan COVID-19. Selain itu, Yaqut juga meminta tokoh agama lebih terukur dalam mengeluarkan pendapat terkait pandemi COVID-19.
Pernyataan yang disampaikan Menag dalam Silaturahim Virtual Menko Polhukam, Menag, Kepala BNPB dengan Tokoh Agama, Pimpinan Pondok Pesantren, Pimpinan Ormas Keagamaan se-Provinsi Banten, Sabtu (7/8/2021) memiliki dasar rasional obyektif. Masih banyak tokoh-tokoh agamawan, yang secara terbuka dan bahkan provokatif justru menentang vaksinasi. Mereka tidak hanya bersikap untuk dirinya tetapi mengajak dan mempengaruhi orang lain.
Pandemi adalah realitas obyektif. Fakta riil, yang terpampang terbentang memporakporandakan seluruh tatanan negara di dunia. Telah menelan korban meninggal lebih 4,29 juta dan menginfeksi 203 juta di seluruh dunia dan di Indonesia lebih 105 ribu meninggal dunia, lebih 3,5 juta terinfeksi.
Masihkah belum percaya fakta riil Covid-19 lalu menggunakan agama sebagai bungkus untuk memprovokasi masyarakat dengan berbagai pikiran jauh dari proporsional bahkan menabrak akal sehat?