Oleh : Miqdad Husein
Dunia hari-hari terakhir ini menyaksikan akrobat penyebaran Covid-19 yang cukup mengejutkan dan mencengangkan, di Singapura. Mengejutkan karena negara di kawasan Asia Tenggara itu tergolong sangat serius dalam mengatasi pandemi. Dengan jumlah penduduk relatif sedikit, Singapura bahkan sempat mewacanakan ingin berdamai dan hidup rukun bersama Covid.
Sebelumnya, dunia sempat ngeri menyaksikan penyebaran Covid di India. Namun, ada persambungan logika ketika ternyata sebelum penyebaran demikian dasyat ada faktor pemicunya. Apalagi kalau bukan kelalaian serta aktivitas kerumuman luar biasa dalam acara keagamaan Kumb Mela serta event politik pemilu.
Kasus di Singapura jelas bertolak belakang dengan apa yang terjadi India. Bukan hanya jumlah penduduk yang ibarat langit dan bumi, Singapura selama ini diketahui sebagai negara yang praktis telah melampaui situasi dan kondisi dari kegentingan pasca berbagai usaha super serius. Namun ternyata proggres mengesankan dalam upaya pemutusan pandemi belakangan buyar seakan tanpa bekas.
Singapura berpenduduk sekitar 5,7 juta. Tak sampai 1/47 penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 270 juta. Apalagi jika dibandingkan dengan India. Saat ini Singapura sedang kelabakan menghadapi penyebaran Covid-19 yang perhari mencapai lebih 1000 orang. Angka tertinggi sejak bulan April tahun 2020.
Jika berandai-andai menggunakan perbandingan antara penduduk Indonesia dan Singapura saat ini, dalam jumlah kasusnya, kalau terjadi di Indonesia bisa mencapai sekitar 50 ribuan. Namun, berkat kerja keras seluruh komponen bangsa, saat ini kasus Covid di tanah air melandai sekitar tiga ribuan. Sangat jauh persentasenya jika dibanding jumlah penduduk dan kasus di Singapura. Tak heran jika dunia menempatkan Indonesia satu dari enam negara terbaik dalam penanganan pandemi.
Semua tahu tentang negara jiran itu, yang dalam banyak hal sebenarnya lebih baik dari Indonesia. Fasilitas publik modern, kesehatan, kesejahteraan sangat baik. Kedisiplinan masyarakat misalnya soal berlalu lintas dan kebersihan di manapun; semua lebih baik. Tertib hukum juga mengesankan. Pendataan apapun terkelola sehingga jika seseorang misalnya, ketinggalan sesuatu dalam perjalanan mengendarai taksi tidak perlu khawatir. Sangat besar kemungkinan untuk ditemukan. Tidak ada yang meragukan, di Singapura. Semuanya jelas tanpa tedeng aling-aling, melalui proses yang semuanya sudah menggunakan teknologi digital.
Namun, menghadapi pandemi Covid-19 ternyata tetap saja Singapura yang jumlah penduduknya dibanding Jakarta saja tak sampai separuhnya kelimpungan dan kelabakan. Jangan lupa Singapura telah menvaksin lebih dari 84 persen penduduknya. Angka yang tergolong salah satu yang tertinggi di dunia.
Tergambar jelas betapa sulit sesungguhnya mengendalikan pandemi Covid-19. Sebuah fakta kasat mata yang seharusnya menyadarkan masyarakat. Jika sekelas Singapura saja, dengan fasilitas kesehatan super hebat, lengkap, jumlah penduduk kecil sehingga mudah diatur serta terutama kedisiplinan yang sangat luar biasa, masih belum mampu mengendalikan dan mengatasi penyebaran Covid. Ini fakta telanjang, yang siapapun dapat mengetahui secara mudah.
Masih mudah ditemui kemampuan pemerintah dalam mengatasi penanganan Covid-19 di tanah air dibandingkan dengan beberapa negara, yang jumlah penduduknya kecil dan fasilitas kesehatan lengkap serta budaya kedisiplinan yang sudah berjalan baik. Ini dilakukan oleh para politisi petualang yang berkoar hanya atas dasar persepsi super subyektif, untuk tidak disebut sebagai bermuatan nyinyir semata. Bukan hanya tidak fair bahkan cenderung jauh dari proporsional dalam keseluruhannya.
Nah, sekarang seharusnya dengan kejadian di Singapura, mereka yang selalu memandang sinis penanganan pemerintah terbuka dan menyadari betapa tidak mudah penanganan pandemi Covid-19. Peringatan WHO agar selalu terus waspada dan berhati-hati ternyata terbukti. Amerika Serikat saja sempat naik 1000 persen dan Singapura yang bisa dilihat hanya tinggal melongok dari jendela, menjadi bukti riil betapa sulitnya mengatasi pandemi Covid. Super tidak terduga.
Tentu saja tidak penting, berbagai pernyataan bernuansa nyinyir dari kalangan yang sebagian besar berjejer sebagai barisan sakit hati itu. Yang sangat penting, kejadian di Singapura harus jadi pembelajaran berharga agar tidak terjadi Indonesia. Jangan kendor seperti ditegaskan Presiden Jokowi. Jangan pernah lalai menerapkan protokol kesehatan walau belakangan kasus terinfeksi mulai melandai.
Pelonggaran aktivitas keseharian untuk mendorong perbaikan ekonomi jangan mengendorkan penerapan Prokes. Aktivitas perlahan dimulai tetapi Prokes tetap harus diterapkan secara ketat. Ingat, Singapura saja yang ketat masih kecolongan apalagi jika bersikap longgar dalam Prokes.