Oleh: Miqdad Husein (*)
Sebuah tayangan kanal Cyber Rakyat, di Youtube menyampaikan informasi penting. Ketua Umum PDI Perjuangan disebut tayangan itu meninggal dunia setelah sebelumnya dirawat di RS Pertamina. Sang penyiar menyebutkan informasi diperoleh dari salah seorang Ketua DPP PDI Perjuangan, yang tidak disebutkan namanya.
Selain menampilkan sang sosok penyampai berita, tayangan memberikan latar belakang kesibukan terkesan suasana ada tokoh meninggal. Ada ambulance, potongan gambar kesibukan aktivis PDI Perjuangan dan lainnya layaknya suasana duka.
Sangat jelas dari keseluruhan yang terpapar, tayangan dipersiapkan secara matang dan bukan tiba-tiba dimunculkan. Potongan rekaman berbagai aktivitas suasana rumah sakit misalnya, munculnya sosok tokoh PDI Perjuangan menegaskan tayangan telah dibuat sedemikian rupa dengan tujuan meyakinkan siapapun yang menyaksikan. Itu artinya memang sengaja dibuat untuk menyebarkan hoax dan bukan ketaksengajaan kesalahan mendapat informasi. Benar-benar sebuah perbuatan jauh dari kepantasan dan kepatutan. Memberitakan seseorang meninggal dunia dengan sengaja, sementara yang bersangkutan masih sehat wal afiat.
Jika ada tayangan sekedar memberitakan bahwa ada desas-desus seorang tokoh meninggal, di sebuah negara tertutup seperti di Korea Utara, mungkin masih bisa dipahami. Tayangan itu secara terbuka tanpa tedeng aling-aling menyebut Ibu Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan meninggalkan dunia. Sebuah perilaku sudah sangat jauh melampaui batas.
Sebelumnya sebuah tayangan lain sempat memberitakan Ibu Megawati masuk ruang ICU RS Pertamina. Walau masih agak sopan, mungkin si pembaca berita masih punya malu karena mantan wartawan media Islam, ada penegasan penyebutan sumber dan proses croscek walau tetap memperlihatkan lagi-lagi ketakpatutan ketika menyebut bahwa ada pesan yang dijamin 1000 persen benar tentang kondisi sakit Ibu Megawati.
Beberapa tayangan itu jelas merupakan noda hitam luar biasa bagi kehidupan masyarakat negeri ini. Betapa seenaknya hoax dan fitnah serta framming disebarkan hanya karena perbedaan dan persaingan politik. Sebuah perbedaan politik telah dibumbui kental kebencian sehingga tega tanpa tabayyun kepada sumber terkait memberitakan seseorang meninggal dunia atau sakit.
Tayangan berita hoax Ibu Megawati meninggal dunia, disamping memperlihatkan kesengajaan tuntas, juga benar-benar memamerkam kebiadaban yang sama sekali tidak selayaknya terjadi di negeri ini. Bagaimana seseorang “meninggal” disambut kegembiraan dan berbagai perkataan sarkastis. Lebih memilukan lagi dibungkus ujaran bernuansa ajaran suci agama Islam. Naudzubillah.
Sangat kasar dan jauh dari kepantasan apalagi menghadapi suasana yang dikondisikan duka. Kalimat yang terlontar lebih tepat sebagai sumpah serapah ketimbang ucapan bela sungkawa. Benar-benar, menodai kehidupan kemasyarakatan khususnya dunia pemberitaan negeri ini. Jelas yang terpapar jauh dari ajaran dan akhlaq Islam.
Apa salah Ibu Megawati sehingga diberitakan meninggal serta dibumbui sumpah serapah jauh dari beradab. Apalagi Ibu Megawati saat ini, tidak lagi berada dalam jajaran pemerintah langsung sehingga jika misalnya ada ketakpuasan terhadap jalannya pemerintahan tidak selayaknya diarahkan kepada beliau.
Jika mereka berpikir dan memiliki bukti bahwa Ibu Megawati melakukan kesalahan yang merugikan bukankah jalur hukum bisa ditempuh. Bukankah mereka bisa melaporkan dengan elegan kepada aparat hukum dan bukan justru menyebar hoax berlumur kebencian.
Tergambar jelas kasus pemberitaan hoax Ibu Megawati yang dilumuri kata-kata kotor memiliki kemiripan dengan apa yang dialami Presiden Jokowi saat Pilpres 2019. Fitnah, hoaks demikian luar biasa bahkan sampai kepada Ibu Jokowipun, yang tidak tahu menahu persoalan politik menjadi sasaran.
Semua memperlihatkan mesin kerja penyebar hoaks dan fitnah sangat sistematis, massif dan terstruktur. Pembongkaran dan penangkapan saracen yang disebut sebagai salah satu sumber penyebaran hoax dan fitnah menjadi bukti kongkrit bahwa semuanya memang telah menjadi bagian dari pertarungan politik.
Menyedihkan memang. Apalagi ketika terlihat jelas berbagai hoax dan fitnah yang tersebar dibungkus ajaran suci agama. Mereka menjadikan agama untuk memperkuat daya serang penyebaran hoax dan fitnah yang diharapkan dapat dipercaya dan pada akhirnya menggerakkan kepentingan mereka.
Bukan hal mengejutkan kalau kemudian dalam Pilpres menjadi pertarungan yang sengaja diberi nuansa agama. Seakan jika memilih Prabowo masuk surga dan memilih Jokowi masuk neraka. Seakan Prabowo itu pemimpin Islam –walau dia sendiri terbuka mengakui awam soal Islam- dan Jokowi pemimpin sekuler bahkan dicitrakan sebagai boneka Cina.
Politik identitas merebak dasyat membuat masyarakat terbelah berlumur kebencian. Hingga kini, suasana keterbelahan tetap terasa menyelinap dalam berbagai bentuk seperti tayangan channel yang memberitakan Ibu Megawati meninggal.
Wajar sebenarnya dalam pentas politik terjadi konstestasi ide, pemikiran, saling mengkritisi. Itu bagian dari dinamika politik, menyerang dan diserang dalam soal gagasan. Ada yang berkuasa, ada yang berada dalam posisi oposisi. Ceck and balances, merupakan bagian dari jati diri demokrasi.
Namun semua harus berlangsung terbuka, sportif, obyektif dan konstruktif. Bukan menyebar fitnah, hoax dan framming serta ujaran kebencian untuk saling menghabisi. Sebab semua adalah keluarga besar yang hidup dan menikmati desah nafas dalam naungan NKRI.
Tayangan channel itu bukan pertama menjadi kekuatan penyebaran hoax, fitnah, framming dan ujaran kebencian. Perlu ada ketegasan aparat hukum agar berbagai potensi yang dapat meretakkan kesatuan dan persatuan negeri ini tak terulang. Jangan lagi hanya selesai lewat materai 10 ribu, jika berharap negeri ini bersih dari berbagai pengrusakan informasi. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.