Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Seorang guru besar dari Singapura memberikan penilaian membanggakan tentang kepemimpinan Presiden Jokowi. Sosok itu adalah Profesor Kishore Mahbubani, dosen Praktik Kebijakan Publik dan Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy di Universitas Nasional Singapura.
Tokoh itu menyebut Jokowi sebagai pemimpin genius. Kegeniusan Jokowi terlihat, masih menurut guru besar itu, pada kemampuan memadukan dan menyatukan perbedaan politik sehingga membentuk konfigurasi indah. Mahbubani melihat kerukunan dan kedamaian yang luar biasa.
Sikap genius Jokowi sangat terlihat ketika mampu merangkul lawan dalam Pilpres 2019 Capres dan cawapres yang menjadi pesaingnya untuk menterinya –Menteri Pertahanan (Prabowo) dan Menteri Pariwisata (Sandiaga Uno). Padahal, publik di negeri ini dan bahkan diberbagai penjuru dunia, melihat betapa keras pertarungan saat Pilpres sehingga bangsa Indonesia seakan terbelah.
Memang pasca Pilpres masih ditemukan berbagai reaksi pengerasan kelompok sisa-sisa pertarungan sengit itu. Namun, semua lebih terlihat sebatas opini di media sosial atau perbincangan para pendukung Prabowo-Sandiaga, yang kecewa. Secara keseluruhan dalam tataran riil kehidupan kemasyarakatan pengerasan dalam tindak kekerasan praktis tidak ada. Sejauh ini, yang masih berpotensi kekerasan bukan dari sisa-sia pertarungan Pilpres tetapi lebih merupakan kelompok radikal, yang mengatasnamakan agama dalam berbagai bentuk teror.
Adalah aneh ketika beberapa waktu lalu muncul tudingan pemerintah Jokowi mencerminkan oligarki politik; kekuasaan pemerintahan berada pada segelintir elit kecil. Padahal, fakta riil, pemerintah Jokowi justru mencerminkan kebersamaan sebagian besar kekuatan politik. Indikasi bergabungnya PAN makin memperlihat betapa pemerintah saat ini merupakan wujud kebersamaan sebagian besar kekuatan politik.
Yang menarik, Mahbubani tak hanya memberikan apresiasi kepada Jokowi. Beliau juga secara terbuka memberikan acungan jempol kepada Indonesia secara keseluruhan, yang mampu menjaga kebeersamaan dalam bingkai NKRI. Padahal, banyak tokoh dunia sbelumnya menghawatirkan Indonesia akan mengalami seperti Soviet dan Yugoslavia, yang berantakan terpecah belah. Ternyata sampai saat ini Indonesia tetap eksis bahkan ikatan kebersamaan -walau masih ada riak-riak sangat kecil dari segelintir orang, yang mengatasnamakan agama- makin meningkat kuat.
Secara obyektif kondisi sosial Indonesia sebenarnya memang sangat penuh keragaman luar biasa. Jumlah suku di Indonesia seperti dilansir Badan Pusat Statistik ada 1331 nama suku, subsuku, termasuk pula sub dari subsuku. Pulau-pulaupun luar biasa banyak, sekitar 1700 yang direncanakan akan didaftarkan pada pertemuan United Nation Group of Expert on Geographical Names (UNGEGN) pada tahun 2022. Sangat luar biasa keanekaragaman Indonesia. Belum lagi keragaman keyakinan keagamaan yang dapat hidup damai tanpa saling mengusik apalagi saling menyerang. Kurukunan keterikatan keagamaan sangat terasa terutama pada setiap momen keaagamaan.
Pujian pada kepemimpinan Presiden Jokowi sebelumnya disampaikan Presiden Amerika Serikat Joe Biden terhadap penanganan pandemi Covid. Beberapa pemimpin negara melalui berbagai apresiasi juga terlihat seperti penamaan jalan dengan nama Jokowi dan lainnya.
Di luar berbagai pujian kepada Presiden Jokowi, memang tak berarti mencerminkan kesempurnaan. Tidak ada yang sempurna pada sosok bernama manusia. Hanya Tuhan yang maha sempurna. Karena itu bisa dipahami jika masih ada kekurangan dan ketakpuasan yang perlu diperbaiki. Jelas, pemerintah manapun tidak akan dapat memuaskan semua pihak.
Di sinilah prinsip demokrasi cecks and balances perlu dikembangkan secara konstruktif. Pengawasan dan kritik tetap diperlukan sebagai bagian mendorong peningkatan demokratisasi. Kritik yang elegan, yang mengedepankan essensi dan bukan hanya sekedar sensasi perlu terus digalakkkan. Harus dibuang jauh berbagai kritik bermuatan fitnah, hoak dan ujaran kebencian yang berpotensi merusak kedamaian, persatuan dan kesatuan. Siapapun harus menjaga NKRI dari berbagai rongrongan kepentingan para petualang politik. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.