Oleh: Miqdad Husein (*)
“Kenapa takut. PKI saja kok ditakuti.” Demikian jawaban KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur ketika ditanya Andi F. Noya tentang belakangan merebak kekhawatiran PKI akan bangkit, pada acara Kick Andy beberapa waktu lalu. Jawaban itu menegaskan kepercayaan diri Gus Dur yang bisa dipahami. Tentu tidak sekedar percaya diri. Gus Dur sudah pasti memperhitungkan realitas kekuatan PKI.
Wawancara ekslusif berlangsung di era reformasi ketika kehidupan demokrasi dan keterbukaan berjalan baik, kemungkinan besar menjadi alasan pertama mengapa Gus Dus demikian yakin bahwa PKI tak perlu ditakuti. Kondisi dunia saat reformasi memang telah berobah. Konstelasi politik global berantakan. Perang dingin Timur versus Barat mencair membentuk formula geopolitik baru. Salah satu korban paling dasyat hancurnya komunisme.
Fakta telah memperlihatkan bahwa kekuatan komunis di seluruh dunia ketika negeri ini berada dalam era reformasi memang sudah mati suri. Uni Soviet yang demikian perkasa porak poranda. Komunis Cina, praktis tinggal bungkus saja. Baju komunis isi kapatalis. Cina bahkan secara bercanda disebut lebih kapitalis dari Amerika Serikat, yang disebut mbahnya kapitatalis.
Mungkin, sebagian dari masyarakat ada yang berpikir bukankah PKI pernah memberontak beberapa kali di negeri ini. Terakhir pada tahun 1965. Ya, itu fakta sejarah, yang tak boleh dilupakan dan harus menjadi pembelajaran agar tidak terulang lagi. Kunci penting, menjadi pelajaran!
Masa itu, pada tahun 1950 sampai tahun 1965 an kondisi negara memang semrawut. Kabinet naik turun dalam sistem parlementer. Angka kemiskinan tinggi. Ekonomi terpuruk, inflasi tinggi menjulang. Sementara kualitas pendidikan masyarakat masih sangat rendah. Itulah areal subur, yang menjadi tempat komunis –PKI- di negeri ini demikian mudah mengembangkan sayapnya.
Masyarakat yang masih terbelakang dalam berpikir mudah dibujuk janji-janji manis PKI. Kondisi kemiskinan berkepanjangan seakan mendapat harapan dapat hidup lebih baik ketika PKI menyampaikan rayuan maut. Faktor lain, yang tak kalah penting keluguan masyarakat untuk menjadi bagian PKI tanpa menyadari sama sekali. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari secara selintas memberi paparan bagaimana masyarakat tanpa menyadari menjadi bagian dari PKI hanya karena diundang acara seremonialnya.
Berbagai kondisi subur bersemainya PKI membuat hasil Pemilu 1955 mengejutkan. Bayangkan, PKI menjadi pertai urutan ke empat terbesar. Sebuah ironi jika mencermati masyarakat Indonesia yang saat itu lebih dari 90 persen disebut beragama Islam. Jangan lupa, sisanyapun masih masuk katagori beragama.
Benar komunis adalah ideologi politik yang sama sekali tak terkait sistem kepercayaan. Bisa saja terjadi seorang memeluk agama namun berideologi komunis. Namun tetap mengejutkan ketika PKI ternyata mendapat dukungan signifikan dalam Pemilu 1955.
Di sinilah sebenarnya mengapa Gus Dus demikian yakin tak perlu takut kepada PKI. Zaman telah berobah. Informasi dan komunikasi menjadi bagian keseharian masyarakat. Komunis di berbagai penjuru dunia telah mati suri. Jadi, kenapa seperti kata Gus Dur harus takut kepada PKI.
Mudah memahami logika cerdas Gus Dur, yang dikenal memiliki visi pemikiran jauh ke depan. Dengan perilaku komunis yang anti demokrasi, otoritarian kalau berkuasa, tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak memberi peluang kreativitas dan berbagai pembelengguan lainnya, jelas bukan hanya kurang menarik generasi melenial. Tidak akan laku. Bahkan akan menjadi musuh karena bertolak belakang dengan gaya hidup mereka. Apa iya ada anak muda yang waras mau menjadi komunis, ketika membuat segalanya terbelenggu dan terkungkung.
Bangunan sistem demokrasi yang berjalan baik juga menjadi pagar penting mencegah PKI ataupun komunis. Sudah menjadi karakter dan wataknya PKI dan komunis secara keseluruhan selalu mmberontak, menikam dari belakang. Sistem demokrasi jelas bertolak belakang dengan platform dan sepak terjang komunis. Karena itu ketika demokrasi berjalan baik, praktis komunis termarginalkan.
Tapi bukankah ideologi tidak pernah mati? Itu realitas empirik tiada terbantahkan. Tetapi, tentu saja, jika sistem demokrasi berjalan baik serta sebagian masyarakat negeri ini terus berupaya menjaganya, ideologi seperti komunis dan lainnya, yang selalu berusaha mencari kesempatan, akan tergilas. Ia akan tenggelam mekanisme sistem demokrasi.
Di luar sistem demokrasi yang berjalan baik tentu penting pula peningkatan kesejahteraan masyarakat, keadilan hukum dan kualitas pendidikan. Termasuk di sini penegakan hukum terhadap kekuatan yang jelas melabrak hukum dalam bentuk anarkisme dan radikalisme. Jika semuanya berjalan relatif baik, seperti kata Gus Dur, tak perlu takut pada PKI dan ideologi lain, yang selalu mencari cara merusak kedamaian negeri ini.
Jadi, jika Gus Dur bilang tak perlu takut PKI memang ada dasarnya. Bahwa selalu ada memang, yang berusaha mengembangkan ketakutan untuk tujuan kepentingan. Biasanya dilakukan oleh mereka yang inferior, tidak percaya diri atau tidak mendapat dukungan riil masyarakat dalam sistem demokrasi yang telah berjalan baik. Jadi, jika ada yang jualan ketakutan terhadap PKI, pasti biasanya mereka, yang sebenarnya tidak siap berdemokrasi, karena kurang didukung rakyat. Begitulah. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.