Oleh : Miqdad Husein
Berputar-putar mengelilingi tempat wisata selama sepekan untuk mengantar anak bungsu demi kepentingan pengamatan, yang diperoleh tidak hanya keindahan penghibur mata. Yang lebih banyak justru memperoleh cerita duka dan nestapa mereka yang hidup tergantung dari pariwisata.
Cerita soal hunian hotel yang turun drastis telah lama terdengar. Demikian pula hotel yang menurunkan tarif untuk menggoda konsumen hingga hanya sepertiga normal, sekedar pemasukan memenuhi kebutuhan operasional, bukan lagi cerita spesial. Ternyata masih banyak fakta kepahitan akibat pandemi yang memang sangat dasyat. Sekedar mengingatkan, tahun 2020 ekonomi dunia mengalami kontraksi rata-rata minus7 persen. Terbayang jelas dampak ekonomi pandemi.
Namun semua itu mungkin belum menyentuh apalagi menghobrak-abrik hati nurani. Masih sekedar angka-angka, yang bisa jadi hanya meliputi kalangan para pengusaha besar. Jauh berbeda dengan mereka yang langsung mengais rezeki dari dagangan, yang dijajakan langsung.
Warung-warung kecil yang berdebu tebal ditinggal pemiliknya masih menjadi pemandangan keseharian sekalipun belakangan pelonggaran aktivitas mulai diberlakukan. Para pedagang asongan, yang biasa bertebaran di tempat wisata, masih berada dalam geliat yang sulit. Tertatih-tatih.
Fakta-fakta itulah yang meluluhlantahkan hati nurani. Para pedagang asongan di tempat wisata, benar-benar berada dalam kondisi nestapa luar biasa. Kondisi mereka tercermin dari bagaimana mereka menjajakan, yang barangkali hanya sedikit berbeda dengan peminta-minta.
Jelas bukan rayuan khas pedagang asongan, yang kadang agak mendesak pembeli. Apa yang mereka lakukan kali ini mencerminkan kepahitan panjang luar biasa, lebih dari satu setengah tahun masa pandemi. Secara terbuka mereka mendesak membeli dagangannya hanya untuk membeli kebutuhan pokok: beras. Tidak banyak yang mereka harapkan, hanya lima sampai sepuluh ribu.
“Bu, Pak, tolong beli satu saja. Satu. Untuk sekedar membeli beras dan membayar utang. Sudah lama kami tak dapat berjualan. Tolong,” katanya dengan ekspresi asli dan bukan dibuat-buat. Berbagai tempat dagangan sovenir, suasana sejenis terasa sedikit lebih elegan. Mereka berharap membeli sedikit diplomatis. Ditunjukkan dagangan yang berdebu, yang lama tak tersentuh.
Bisa dibayangkan bagaimana sebenarnya denyut nadi ekonomi masyarakat lapisan bawah. Mereka, para pedagang kaki lima, yang disebut sektor informal berjumlah sangat besar di negeri ini. Sekitar 60 persen. Dapat dibayangkan dampak ekonominya.
Jangan lupa, berbagai cerita nestapa itu, di daerah wisata paling favorit Bali dan Yogyakarta. Apalagi di daerah wisata lain, yang tingkatan lebih rendah. Jangan lupa pula, ini suasana yang mulai longgar. New normal. Entah apalagi ketika suasana masih benar-benar belum ada aktivitas. Malioboro, Yogyakarta misalnya, benar-benar seperti tanpa penghuni sehingga ada beberapa anak kecil bermain bola. Sebuah kepahitan, yang tak perlu dijelaskan lagi.
Mungkin di kota-kota besar, dampak pandemi tak terlalu terasa. Jauh berbeda dengan mereka yang berada di sudut-sudut kampung, yang jauh dari kesibukan. Apalagi mereka, yang kebutuhan hidup tergantung dari aktivitas keseharian, yang jika terhenti sehari saja, berarti tak ada pemasukan. Apalagi jika berhari-hari.
Kepahitan yang sangat luar biasa itu, masih sebatas persoalan periuk, belum dampak lain seperti pendidikan, keagamaan dan lainnya. Semua perlu dipahami dan diresapi para pemimpin untuk bekerja keras mendorong kondisi pemulihan. Demikian pula mereka yang berada di luar kekuasaan perlu menahan diri, untuk sementara waktu tak lagi bicara soal kekuasaan. Bergeraklah untuk memutus pandemi. Itu saja.
Keseriusan para pemimpin penting diingatkan karena memang merupakan persoalan serius di negeri ini, terutama di daerah. Mereka seperti kurang serius dalam pemutusan pandemi. Dari sekitar 524 pemimpin daerah, sedikit sekali, dari mereka yang sungguh-sungguh turun ke gelanggang untuk soal misalnya, “memaksa” masyarakat menerapkan protokol kesehatan, yang paling sederhana: memakai masker. Jajaran pemerinth daerah, yang berhadapan langsung sangat jarang turun menertibkan masyarakat mentaati prokes.
Sebuah daerah di Jawa Barat, yang berbatasan Jakarta, yang sudah pasti sangat rawan karena mobilitas warga, yang sangat intens, seperti membiarkan warganya berkeliaran bebas. Tak ada aktivitas berarti yang mengontrol ketat penerapan Prokes. Jangan bicara di pasar-pasar, yang praktis tergambar seakan tiada pandemi, di jalan-jalan yang mudah terlihatpun, ketaatan prokes terabaikan. Baru setelah gelombang kedua terjadi, mereka pontang panting, itupun belum optimal.
Para pemimpin perlu meniru perilaku Umar bin Chattab, yang selalu berkeliling merasakan langsung denyut nadi kehidupan rakyatnya agar tergerak nuraninya untuk bekerja keras. Mereka perlu mengetahui langsung betapa rakyat di bawah sudah sekarat sampai kehilangan rasa malu, dengan meminta-minta agar dagangannya dibeli. Mereka hanya sedikit berbeda dari para peminta-minta.
Masyarakat lainpun perlu menyadari betapa saudara mereka, yang terdampak langsung pandemi benar-benar menderita. Para tokoh agama, jangan hanya berteriak di mimbar, apalagi dengan berbagai komentar yang menganggap sepele dan menyebar retorika hoax, yang menganggap Covid tak ada. Seharusnya, semuanya harus berusaha bekerja keras memutus pandemi.
Pada akhirnya blusukan, anjangsana, rihlah, turba (turun ke bawah), silaturrahmi atau apalah, penting untuk mengetahui bagaimana kondisi sesungguhnya saudara-saudara ‘kita’ agar tergerak nurani untuk kemudian berbuat maksimal sesuai kewenangan masing-masing. Tidak hanya sekedar duduk manis di belakang meja. Apalagi mengedepankan ego, tak peduli orang lain.