Oleh : Miqdad Husein
Tagar bubarkan MUI sempat beredar di dunia maya, Twitter. Sempat menjadi trending topic walau tak terlalu lama. Sebuah isyarat bahwa tagar itu tidak cukup kuat mendapat dukungan masyarakat.
Adalah tertangkapnya seorang anggota Komisi Fatwa MUI atas dugaan terkait terorisme yang menjadi titik tolak tagar bubarkan MUI. Sebagian nitizen yang selama ini kecewa pada MUI seperti mendapat pembenaran dan pelampiasan. Apalagi kasus yang hanya melibatkan satu oknum itu tergolong sangat serius; terkait terorisme.
Namun tentu saja tagar tidak cukup rasional apalagi dari segi representasi. Ramai di dunia maya tidak lantas cukup kuat menjadi pembenaran mayoritas masyarakat.
Kekecewaan pada MUI memang pada beberapa kasus bisa dipahami terutama akibat kelakuan oknum pengurus pada periode lalu. Perilaku politik kebencian yang disebarkan termasuk beberapa kali oknum tersebut menyebarkan hoax menjadi muara kekecewaan dan kecaman pada MUI.
Namun sekali lagi kejadian pada periode lalu itu oknum pengurus, yang ‘genit.’ Sangat personal dan jauh dari sikap keseluruhan organisasi MUI.
Saat inipun, oknum yang ditangkap Densus 88 juga jauh dari representasi organisasi MUI. Hanya satu orang dari anggota Komisi Fatwa yang berjumlah sekitar 70 orang. Belum lagi jika dibandingkan kepengurusan MUI jumlahnya lebih dari 600 orang.
Jadi untuk disebut mewakili Komisi Fatwa saja masih jauh jika dilihat dari perspektif kuantitatif. Apalagi jika mencermati keseluruhan kepengurusan MUI yang jumlahnya ratusan orang.
Disinilah penting siapapun perlu menempatkan persoalan secara proporsional. Baik dari masyarakat sendiri -nitizen maupun dari beberapa pengurus MUI yang memberikan respon.
Sikap nitizen menuntut pembubaran MUI jelas dari perspektif kuantitatif maupun kualitatif jauh dari proporsional, juga sangat tidak rasional. Respon pengurus MUI dalam menanggapi tagar bubarkan MUI seharusnya tidak larut arus tuntutan itu. Melayani dan merespon secara retorika panas tuntutan sebagian nitizen seakan memberikan pembenaran atau menganggap proporsional. Artinya larut dalam penyebaran opini nitizen, yang sebenarnya tidak rasional dan jauh dari proporsional.
Diluar persoalan tagar bubarkan MUI yang jauh dari proporsional tentu tetap MUI perlu mengambil hikmah. Respon sebagian nitizen bagaiamanapun ada pemantiknya sekalipun bukan merupakan sikap organisasi MUI.
Belajar dari serangan itu agaknya MUI perlu penyegaran penegasan khittah sebagai kekuatan moral spiritual. MUI tidak menjadi kekuatan bagian maupun oposisi pemerintah serta tidak terperangkap hiruk pikuk politik kekuasaan. MUI menempatkan diri sebagai payung bangsa, bergerak dalam wilayah highpolitic, politik moral yang menaburkan kesejukan.
Keseluruhan pengurus MUI harus memiliki langgam sama dan tidak terseret arus dinamika politik kekuasaan apalagi dengan ikut menyemburkan retorika panas. Ini jelas bertolakbelakang dengan anatomi MUI sebagai organisasi para ulama.
Jika MUI dan keseluruhan pengurus konsisten menjadi kekuatan moral spiritual bangsa, masyarakat Indonesia diyakini justru akan selalu merindukan peran MUI. Sebaliknya, jika ada oknum pengurus MUI menebar retorika panas apalagi terkesan menjadi partisan, bukan hal luar biasa jika muncul gugatan dan tuntutan pada MUI. Nila setitik merusak susu sebelanga, karena ulah satu dua oknum pengurus, MUI keseluruhan jadi sasaran. Begitulah.