Oleh: Miqdad Husein (*)
Kasus perkosaan belasan santri di Madani Boarding School, Bandung, yang diduga dilakukan pemiliknya Herry Wirawan tiba-tiba melebar. Bukan pada pengembangan kasus untuk melacak kemungkinan keterlibatan orang lain atau apalah. Yang terlihat lebih pada pengalihan masalah dalam bentuk tudingan pada mazhab Syiah serta sikap saling cuci tangan keterkaitan kelembagaan. Tersangka pelaku Herry Wirawan disebar-sebarkan sebagai penganut Syiah.
Sebelumnya, kejadian serupa –dalam bentuk tudingan ke Syiah- terjadi ketika Farid Okbah, terduga terkait tindak pidana teroris diamankan petugas. Sosok aktivis salafi wahabi ini tiba-tiba bajunya dirubah menjadi seorang Syi’ah. Padahal dia lewat berbagai tulisannya terlihat jelas sangat anti Syiah. Jejak diapun bertolak belakang dengan Syiah.
Farid Okbah ini mantan pelajar Lembaga Pengajaran Bahasa Arab Saudi (LPBA) yang merupakan lembaga yang dikelola pemerintah Arab Saudi. Farid juga pernah menjadi staff perpustakaan LPBA relatif lama.
Berbeda dengan kasus perkosaan santri, perubahan status mazhab Farid yang berubah jadi penganut syiah tidak terlalu heboh. Atau gagal dihebohkan karena rekam jejaknya terlalu kental sebagai tokoh salafi wahabi. Buku-buku dia yang anti Syiah makin sulit menciptakan opini pengalihan ke penganut Syiah.
Kasus perkosaan santri relatif mudah dialihkan secara opini pada pertentangan mazhab terutama tudingan ke Syiah. Salah satu ajaran yang dianggap Syiah yaitu mut’ah menjadi pelengkap tudingan kasus Bandung. Seakan perkosaan dua belas santri merupakan aktivitas mut’ah. Padahal dari segi parameter tindakan pun berbeda. Mut’ah merupakan pernikahan sedang kasus di Madani Boarding School diduga merupakan perkosaan; kriminal murni. Belakangan, politisi Partai Solidaritas Indonesia Mohammad Guntur Romli membantah keterkaitan Herry Wirawan dengan Syiah.
Hasil pelacakan penggiat media sosial itu, melalui akun Twitter pribadinya, Guntur Romli mengungkap bahwa, Herry Wirawan adalah Ketua Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan Pesantren Salafiyah. “Mana ada syiah pakai istilah Salafiyah,” cuit Guntur Romli, Jumat, 10 Desember 2021.
Di sini terlihat jelas, berbagai pengalihan melalui pemberian label memperlihatkan kerancuan berpikir. Seakan ketika seseorang melakukan tindak pidana, seperti dalam kasus Herry Wirawan, lembaganya, menjadi bagian dari kejadian itu. Lalu, ramai-ramai diupayakan berbagai acara melepaskan keterkaitannya.
Berbagai upaya itu, menggelikan karena tindak pidana bersifat orang perorang, personal. Jadi, mengkaitkan ke lembaga tempat terpidana berada jelas salah langkah. Tidak mungkin lembaga pendidikan tempat terpidana memiliki kebijakan yang mendorong tindakan perkosaan.
Yang terjadi penyebaran opini dan persepsi seakan ada keterkaitan kelembagaan dengan kasus. Selalu memang, jika ada seorang guru, di lembaga pendidikan tertentu melakukan tindak pidana, maka lembaganya akan disangkutkan atau disebut-sebut.
Dua hal ini sebenarnya bertolakbelakang. Yang satu merupakan fakta hukum lainnya lebih merupakan opini atau persepsi. Sayangnya, masyarakat sibuk dalam permainan persepsi dan opini kait mengkaitkan. Bukan pada persoalan subtansinya.
Di sinilah kemudian muncul olahan persepsi, terpapar ‘pertarungan’ opini untuk membersihkan diri atau untuk menyerang kelompok lain. Penganut mashab Syiah kebetulan pada kasus ini menjadi sasaran serangan. Upaya membersihkan dari keterkaitan kasus perkosaan santri juga terlihat sangat gencar dilakukan beberapa kalangan tokoh Nahdiyin. Sesuatu, yang sangat wajar dan seharusnya karena dapat merusak nama pesantren yang identik dengan NU.
Pada dasarnya memang sulit menghindari pernik-pernik di sekitar kasus tindak pidana perkosaan sehingga selalu ada upaya keras para pihak untuk membersihkan diri dari keterkaitan itu. Bagaimanapun kelangsungan kelembagaan –lembaga pendidikan tempat belajar keseluruhan, serta keterkaitan langsung atau tidak langsung simbol lembaga seperti nama pesantren, perlu dibersihkan.
Namun demikian, masyarakat mutlak harus diingatkan agar tidak terperangkap sekedar pada persoalan opini bernuansa citra kelembagaan sehingga persoalan subtansi terabaikan. Jangan sampai persoalan utamanya, kurang tertangani karena sibuk memperhatikan bungkus atau kurungannya.
Dalam kasus perkosaan santri ini, sangat jelas memperlihatkan kesemrawutan serius terutama pengawasan baik di internal lembaga, pihak berwenang maupun para orangtua serta masyarakat. Kejadian bertahun-tahun sampai kemudian menyebabkan terjadi korban sebanyak 12 orang merupakan ironi menggambarkan terjadi ketakpedulian, pembiaran atau kemungkinan pendiaman atas alasan nama baik dan lainnya. Apalagi delapan orang santri yang diduga diperkosa sampai melahirkan, satu sedang hamil.
Problem komunikasi santri dan para orangtua juga terlihat jelas pada kasus itu. Melahirkan adalah proses medis sangat luar biasa. Sangat aneh jika tidak ada ketaktahuan orangtua. Atau, kembali terjadi semacam beban psikologis ketika orangtua terpaksa diam karena malu atau ketakutan mendapat ancaman dan lainnya.
Pada wilayah ini seharusnya perhatian masyarakat tercurahkan agar kasus sejenis tidak terulang. Perlu dikawal ketat seluruh proses hukum. Bukan justru sibuk melakukan pembersihan citra kelembagaan apalagi sampai kemudian mencari kambing hitam, saling lempar tudingan dikaitkan mashab atau organisasi.
Rasanya, dalam keadaan normal, tak ada di dunia ini organisasi, mashab atau kelembagaan apalagi yang berbentuk pendidikan yang membiarkan dan mendukung perilaku rendah perkosaan. Selalu kasus itu sebagai pelanggaran, penyelewengan dari oknum atau pribadi-pribadi bermental rendah.
Memang perlu berpikir tentang upaya menyelamatkan kelembagaan, karena menyangkut kepentingan jauh lebih luas –bukan lebih penting karena perhatian penanganan hukum pada kasus perkosaan jelas dan mutlak terpenting. Menjadi keharusan semua kalangan perlu memperhatikan kasus itu secara integral, rasional, agar tidak terulang kembali. Termasuk tuntutan agar memberikan hukuman sangat berat kepada pelaku tindakan bejat itu. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.