oleh : Miqdad Husein
Siapapun yang berpikir jernih akan membenarkan pelarangan acara Reuni 212. Tidak perlu menjadi sangat cerdas untuk memahami pertimbangan pelarangan. Secara kasat mata dapat terlihat sangat jelas fakta-fakta obyektif. Sudah pasti kondisi pandemi yang jadi alasan utama.
Dasar pelarangan makin kuat ketika pemberitaan berbagai media baik nasional maupun internasional memaparkan temuan varian baru Covid-19 yang bernama Omicron, yang daya sebar dan tingkat bahayanya lebih tinggi. Keputusan pemerintah melarang penerbangan masuk ke Indonesia dari tujuh negara, atau pengawasan sangat ketat setiap kedatangan warga asing -jika memang benar-benar diperlukan- makin mempertegas bahwa pandemi bukan saja belum berakhir bahkan masih berpotensi terjadi eskalasi, jika kewaspadaan masyarakat dunia menurun.
Tentu saja pemerintah memang seharusnya bertindak tegas melarang berbagai kerumunan apalagi yang kemungkinan relatif besar. Penetapan PPKM berskala level 3 mulai tanggal 24 Desember 2021, sebagai antisipasi potensi mobilitas masyarakat saat Natal dan Tahun Baru juga bagian dari upaya menjaga kondisi yang sudah relatif baik agar tidak terjadi lagi peningkatan pandemi.
Jika acara sakral kalangan Kristiani saja mobilisasi masyarakat terpaksa diperketat seperti halnya momen arus mudik dan balik lebaran, apalagi sekedar acara yang tidak jelas kepentingannya. Bagaimanapun kepentingan rakyat yang berpuluh ribu kali lipat jumlahnya mutlak wajib diutamakan. Dengan mempertimbangkan dampak bila terjadi kerumunan dapat menjadi cluster penyebaran hingga terjadi gelombang ketiga, makin menjadi keharusan pemerintah melarang acara seperti Reuni 212. Hukum tertinggi keselamatan rakyat memang harus ditegakkan!
Namun demikian tetap saja mereka, para pentolan dan pendukung acara Reuni 212 melakukan berbagai manipulasi informasi, framming, seakan pelarangan pemerintah merupakan tindakan pembungkaman suara masyarakat. Pelarangan Reuni 212 dimanipulasi sebagai tindakan pemerintah melarang penyampaian pendapat.
Lihatlah pernyataan seorang Novel Bamukmin, yang menyebut pelarangan acara Reuni 212 sebagai penistaan agama. Sebuah penyebaran retorika manipulatif menggunakan agama. Seakan pemerintah melarang aktivitas keagamaan. Padahal siapapun tahu Reuni 212 tak lebih dari pengerahan massa sekedar bangga-banggaan kekuatan massa dengan agenda tersembunyi diduga bernuansa politik yang sengaja dibungkus agama. Sebuah perilaku rendahan, menjual agama dengan harga sangat murah.
Lebih parah lagi, mereka para pemarakarsa sama sekali tidak mempedulikan keselamatan rakyat baik terkait langsung kemungkinan terinfeksi Covid maupun dampak dasyatnya yang sudah dirasakan seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Mereka seperti tidak peduli keselamatan rakyat, kesulitan ekonomi rakyat, terganggunya dunia pendidikan. Ibadahpun sebagai bagian kegiatan keagamaan, terdampak pandemi. Lalu mereka tanpa rasa malu berteriak Reuni 212 sebagai kegiatan keagamaan sehingga yang melarang disebut penista agama. Padahal merekalah yang menjadi sumber mengganggu kegiatan keagamaan bila kembali terjadi peningkatan kasus terinfeksi akibat langsung kerumunan. Merekalah para penyelenggara Reuni 212 yang sesungguhnya sebagai penista agama karena kegiatan mereka dapat menyebabkan peningkatan terinfeksi Covid hingga berdampak mengganggu aktivitas keagamaan.
Sejatinya merupakan perilaku memalukan ketika Rizieq Shihab yang saat ini menjadi terpidana akibat kasus terkait penanganan pandemi menyerukan masyarakat menghadiri Reuni 212. Tindakan itu sama saja menjerumuskan masyarakat pendukungnya ke dalam malapetaka terinfeksi Covid yang beresiko kematiaan. Terasa sangat menyedihkan jika mereka yang merasa sebagai iman besar, langsung atau tidak langsung justru mencelakakan pendukungnya dan masyarakat secara keseluruhan. Naudzubillah.
Beruntunglah, masyarakat terselamatkan karena pemerintah melarang Reuni 212 walau harus berhadapan serbuan manipulasi informasi retorika murahan seperti diteriakan Novel Bamukmin. Beruntunglah masyarakat negeri ini tidak terpengaruh provokasi menyesatkan. Hanya segelintir orang saja, yang lebih mengedepankan sikap emosional terseret, sementara sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung langkah pemerintah melarang aktivitas tak berguna, yang justru berpotensi menyengsarakan rakyat.
Saatnya dikembangkan upaya lebih intens pencerahan pemikiran agar masyarakat terhindar dari provokasi emosional. Kritik setajamnya, sebagai masukan kepada pemerintah, apalagi yang konstruktif tetap dipersilahkan serta berlangsung sangat aman. Penegasan Presiden Jokowi yang mengingatkan agar tidak terjadi penghapusan mural, memberi bukti riil bahwa menyampaikan pendapat, kritik setajam-tajamnya masih aman-aman saja. Yang jelas terlarang dan berisiko hukum adalah penyebar hoax, fitnah dan hinaan. Jelas bedanya!