MH. Said Abdullah
Tanggapan Presiden Jokowi terhadap kritik Wakil Ketua Umum MUI Pusat Anwar Abbas memberi pelajaran berharga kepada seluruh komponen bangsa. Respon rasional yang diperlihatkan Presiden menegaskan bahwa kritik di alam demokrasi merupakan hal biasa. Kritik seperti dukungan di sisi lain merupakan bagian dinamika demokrasi.
Respon rasional Jokowi dari perspektif psikologi menggambarkan kematangan Jokowi sebagai pemimpin. Ia tidak larut apalagi terperangkap berbagai retorika panas, yang selalu dilontarkan Anwar Abbas.
Dengan penguasaan masalah sangat baik satu persatu dijawab dan dijelaskan berbagai kritik yang disampaikan Anwar Abbas dalam acara Kongres Ekonomi Umat Islam II MUI, beberapa waktu lalu. Dari jawaban berdasarkan data-data riil terlihat jarak dan perbedaan kualitas pemahaman pada persoalan yang jadi sorotan kritik. Tampak sekali betapa Anwar Abbas bukan hanya data salah, pada tingkat serius tidak mengerti apa yang disampaikannya.
Sangat fatal ketika angka-angka dipahami sebaliknya. Penurunan Indeks Gini Ekonomi dari 0,41 menjadi 0,39 yang sebenarnya menegaskan kemajuan karena ketakpahaman dianggap kemunduran oleh Anwar Abbas. Itu sama saja dengan menyebut angka kemiskinan misalnya dari 10,14 persen yang turun jadi 10,11 persen dianggap penurunan kinerja hanya karena terlihat angkanya berkurang. Padahal penurunan itu menegaskan berkurangnya jumlah kemiskinan.
Demikian yang terjadi dalam dialog Presiden Jokowi dan pengurus MUI yang memunculkan kritik Anwar Abbas dan respon rasional serta cerdas dari Presiden Jokowi.
Tiba-tiba terbayang ungkapan brilian dari seorang manusia agung Nabi Muhammad. Sekitar 14 abad lalu, Nabi Muhammad menyampaikan pernyataan populer. “Jika jabatan dipegang orang yang bukan ahlinya, tunggu kehancurannya.”
Pernyataan dasyat itu selaras prinsip dinamika kehidupan modern. Bahwa seseorang perlu bersikap profesional, menempatkan diri pada bidang sesuai keahliannya.
Kompetensi, kata Prof. Dr. Renald Kasali. Sesuai bidang keahliannya dalam menekuni, bersikap, merespon atau menanggapi persoalan apapun. Ini penting agar tidak terjadi seperti kata Ali bin Abi Thalib RA yaitu munculnya kegaduhan ketika orang-orang yang tidak mengerti masalah ikut berbicara.
Yang berbahaya bukan hanya memunculkan kegaduhan. Bila disampaikan oleh mereka yang berada pada posisi terhormat namun berbicara di luar kompetensinya sehingga ‘ternyata salah’ akan tersebar kesalahan pemahaman massal.
Tentu bukan terlarang pengurus MUI berkomentar dan memberikan kritik. Itu bagian dari amar ma’ruf nahi munkar sejalan prinsip agama Islam. Yang perlu digarisbawahi parameter ‘kompetensi’ pada focus persoalan. Atau mintalah pertimbangan para ahlinya jika masalah yang akan dilontarkan bukan keahliannya sehingga lontaran pernyataan atau kritik proporsional, tidak salah fatal.
Sebagai organisasi ulama, keharusan memahami dan menguasai masalah yang akan disampaikan ke pemerintah apalagi bermuatan kritik terbuka makin terasa urgensinya. Resiko sosial yang dapat muncul bisa fatal paling tidak akan timbul kesalahan pemahaman secara massal.
Tentu penting, MUI dan seluruh jajarannya, dengan posisi sebagai kekuatan moral, memberikan pencerahan kepada masyarakat dan bukan menebar berbagai lontaran retorika panas. Membimbing masyarakat agar mengedepankan akhlak serta kejernihan berpikir.
Masyarakat Indonesia tentu masih ingat ketika momen Pilpres 2019 ada oknum pengurus MUI yang bukan hanya melontarkan retorika panas, juga menjadi partisan. Lebih parah lagi berkali-kali menyebarkan hoax dan fitnah.
Sangat diyakini kejadian penuh kepahitan itu bukanlah representasi MUI keseluruhan. Namun demikian sulit pula menghindari persepsi dan opini masyarakat yang menganggap terkait MUI.
Di sinilah perlu kehati-hatian, tak hanya pemahaman masalah tetapi juga cara menyampaikan agar tidak menimbulkan kegaduhan jauh dari produktif. Apalagi bila disampaikan jajaran elite pengurus MUI.
Respon Presiden yang siap memenuhi permintaan dan kebutuhan areal tanah untuk kebutuhan umat yang disampaikan dalam dialog itu, menegaskan betapa masih berharap kontribusi moral, pencerahan pemikiran serta bimbingan akhlaq dari MUI demi kepentingan Indonesia yang bermartabat.