Oleh : MH. Said Abdullah
Dalam interaksi sosial keterikatan keagamaan ada cara pandang dan kebiasaan berpikir mengganggap ganjil dan aneh aktivitas peribadatan penganut agama lain. Paradigma berpikir yang diam-diam ’eksis’ dalam kehidupan keseharian ini sayangnya sering kurang disadari sehingga menjadi kurang terkontrol. Pada tingkat serius akan mudah disalahgunakan untuk memobilisasi ketaksukaan ataupun kebencian.
Masyarakat muslim misalnya merasa aneh dan ganjil menyaksikan bagaimana umat Kristiani melaksanakan misa, umat Hindu sedang khusus berdoa saat upacara, umat Budha yang tafakur di Klenteng. Demikian pula, umat Hindu, Kristiani, Budha, kadang merasakan hal sama ketika menyaksikan umat Islam menjalankan sholat misalnya.
Ini sebenarnya sama saja dengan cara pandang terhadap bahasa sebagai alat komunikasi. Orang Madura akan merasa aneh dan ganjil mendengar bahasa Sunda, Manado, Makasar. Demikian pula sebaliknya. Ini baru sesama masyarakat Indonesia. Apalagi jika perbedaan bahasa antar negara. Masyarakat Indonesia akan bingung dan tercengang mendengar bahasa Thailand dan India misalnya. Karena itu bukan hal luar biasa jika berbagai keanehan dan ketakpahaman kadang menjadi lelucon, yang kalau dipandang serius bisa dianggap sebagai perang budaya seperti saling olok-olok masyarakat Indonesia dan Malaysia di masa lalu.
Cara pandang menganggap ganjil dan aneh penganut agama lain biasanya terkait persoalan tata cara peribadatan, biasa disebut fiqih. Sementara dalam proses keyakinan atau keimanan, biasanya menjadi wilayah serius sehingga cara pandang yang muncul lebih merupakan hasil dari pemahaman melalui proses kajian panjang.
Dalam persoalan fiqih, jangankan antar umat beragama, yang berbeda keyakinan. Antar ummat seagama saja, kadang muncul pandangan menganggap ganjil. Tak usah terlalu rumit. Perbedaan cara sholat di kalangan umat Islam saja sering menimbulkan rasa heran, bagi mereka yang berbeda. Mereka yang usai bertakbir lalu tangan bersendekap, agak bingung ketika menyaksikan hal berbeda, ketika ada orang sholat usai takbir tangan tetap terjulur ke bawah.
Pada wilayah keimanan, teologi, walau kadang muncul perbedaan tajam namun karena menyangkut masalah serius, agak kurang terekspos ke wilayah publik. Biasanya, perbedaan teologi umat beragama jika berinteraksi lebih kental nuansa intelektualnya. Sangat terbatas pada kalangan elit agamawan.
Keanekaragaman di wilayah fiqih maupun pemikiran teologi sampai saat ini –paling tidak di era modern- sangat jarang menimbulkan friksi apalagi sampai terjadi konflik. Cara pandang dan pemikiran pada masing-masing umat beragama sekalipun merasa ganjil dan aneh ketika melihat peribadatan agama lain, tidak mendorong munculnya ekspresi kebencian dan konflik. Apalagi, kalangan elite agamawan yang merasa berbeda dalam wilayah keimanan.
Lalu, mengapa muncul kasus-kasus seperti dilakukan Mohammad Kece, Yusuf Waloni dan yang terakhir Ferdinand Hutahaen? Apakah ini merupakan ekspresi kebencian murni atas dasar pemahaman keagamaan?
Mudah membantahnya terutama jika memahami bagaimana kehidupan sosial antar umat beragama di berbagai daerah manapun di negeri ini. Kerukunan dan kedamaian serta sikap toleransi, saling menghormati antar umat beragama, sangat terasa. Demikian pula di berbagai belahan dunia manapun, sebenarnya tidak ada titik berangkat konflik kekerasan berangkat dari keterikatan keagamaan.
Kepentingan, perbedaan politiklah yang selalu menjadi pintu masuk perseteruan. Apa yang sedang marak belakangan ini, sama sekali tidak ada kaitan dengan keterikatan keagamaan. Lihatlah, perdebatan dan saling mengecam yang marak di media sosial dan media mainstream. Yang terpapar tidak mencerminkan perbedaan keterikatan keagamaan. Yang mengecam Bahar Smith misalnya justru Zaen Assegaf, yang dikenal sebagai habib kribo yang sama-sama muslim. Yang jadi titik masuk bukan perbedaan keagamaan. Antar penganut agama Nasranipun, hal serupa bisa ditemukan.
Di sini, jika dikaji obyektif sesungguhnya agama memang tampak lebih sebagai pembungkus kepentingan. Membela Allah dan yang direspon menganggap Allahmu lemah, sehingga perlu dibela jelas bukan perseteruan teologis, apalagi pertarungan antar umat beragama. Sekali lagi ini sepenuhnya merupakan pertarungan atau perseteruan kepentingan. Tuhan di sini hanya diposisikan sebatas atas nama karena dianggap mempermudah penggalangan opini, pembentukan solidaritas.
Agama ketika dibawa ke wilayah kepentingan dan politik, yang merebak bukan upaya peningkatan kualitas keimanan dan kemanusiaan. Agama akhirnya menjadi sekedar angka-angka penganut, menjadi parameter kuantitatif seperti halnya perhitungan suara elektoral.
Tidak mudah mencegah pemanfaatan agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Selalu saja ada sekelompok orang yang ingin memanipulasi agama, sehingga jauh dari subtansi ajaran agama. Yang perlu dilakukan sekarang ini bagaimana upaya meningkatkan intensitas mencerahkan pemikiran masyarakat, agar tidak mudah menjadi korban mereka yang mengatasnamakan agama, menjual nama Tuhan dengan harga murah, hanya demi kepentingan kekuasaan.