Oleh: Miqdad Husein (*)
Seorang kawan terkejut ketika putrinya menceritakan pengalaman selama belajar di sebuah lembaga pendidikan dengan sistem boarding school. Selama belajar di lembaga pendidikan yang dikelola kader-kader salah satu partai Islam itu sering saat belajar diselingi berbagai kejadian yang tidak dimengertinya.
Masih cerita dari putrinya, beberapa kali guru-guru di lembaga itu ketika mengajar memajang dan memperlihatkan foto Presiden Jokowi. Lalu, dengan cara-cara provokatif, sang guru mencoret-coret foto Presiden Jokowi dengan nada penuh kebencian.
Kawan lain, yang putrinya juga sekolah di lembaga pendidikan sejenis mendengar cerita berbeda. Pada setiap tanggal 30 September, siswa-siswa yang belajar ditakut-takuti bahwa nanti malam akan ada penggerebekan dan penyerangan yang akan dilakukan oleh PKI. Berbagai bumbu seram tak ketinggalan disampaikan pula.
Cerita faktual ini memang tak terjadi pada semua lembaga pendidikan dengan sistem boarding School. Namun, beberapa data dari aparat kepolisian tentang indikasi penyalahgunaan lembaga pendidikan untuk kepentingan penanaman paham radikal, tak bisa lagi dianggap sebagai angin lalu. Apalagi deretan data relatif cukup panjang. Itupun baru yang ketahuan.
Pernyataan Komjen Boy Rafli tentang 198 pesantren terindikasi jaringan teror, makin menegaskan potensi tindakan kekerasan dari lembaga pendidikan. Benar, angka itu sangat kecil dibanding jumlah pesantren yang sekitar 27.772 serta diyakini bukan yang dibawa naungan NU dan Muhammadiyah serta Ormas lain yang tak perlu diragukan nasionalismenya. Namun untuk penyebaran potensi teror jelas bukan angka kecil. Apalagi, karena keterbatasan kemampuan aparat, tak semua lembaga pendidikan termonitor.
Di media sosial pernah beredar cerita seorang anak berumur sekitar 12 tahun, yang menuturkan ingin meninggal syahid dengan bom bunuh diri. Si anak rupanya telah dicuci otaknya dengan cerita-cerita jihad dan proses kematian yang tidak sakit. Misalnya, diceritakan kepada si anak bahwa mereka yang berjihad dengan bom bunuh diri saat meninggal tersenyum karena tidak merasakan sakit. Janji surgapun mengalir melengkapi obsesi si anak.
Aktivitas pendidikan ‘nyeleneh’ ini kalau dibiarkan terus berlangsung, dalam beberapa tahun bisa dibayangkan dampaknya. Akan makin banyak generasi muda, yang terindikasi pikiran radikal mengarah terorisme. Bisa dibayangkan jika lembaga pendidikan, yang dikelola kader-kader salah satu partai Islam di negeri ini saja demikian kasar menanamkan sikap emosional bermuatan kebencian apalagi lembaga pendidikan yang dari sejak awal sudah dirancang untuk membentuk kader-kader radikal, teroris.
Di luar berbagai potensi pelecehan seksual, diam-diam makin banyak lembaga pendidikan yang terindikasi mengajarkan tindakan radikal, terorisme, yang jika dibiarkan bisa dibayangkan akibatnya dalam beberapa tahun mendatang ketika mereka sudah mulai dewasa.
Yang perlu dicermati, atmosfir pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat disinyalir antara lain sebagai akibat panjang pelaksanaan Pilpres 2019. Diakui atau tidak, sejak Pilpres diam-diam merebak keterbelahan masyarakat dalam wujud pemikiran dan sikap ekstrim terhadap kekuasaan. Akibat politik identitas, yang disebarkan secara massif, yang menggambarkan seakan Prabowo Islami, pemimpin Islam sementara Jokowi, mewakili kepemimpinan jauh dari nilai-nilai Islam makin menumbuhkan bibit-bibit keterbelahan. Pandangan pada pemerintah, yang dipimpin Presiden Jokowi, akibat sisa-sisa politik identitas menyuburkan pandangan emosional dan bukan sikap rasional. Demikian parahnya pikiran emosional, di era pandemi ini, sempat ditemukan pandangan bahwa yang memakai masker adalah orang-orang Jokowi; dibodohi pemerintah Jokowi. Alamak.
Tentu masih jauh lebih banyak lagi pikiran-pikiran rasional di tengah masyarakat. Namun demikian, berbagai kerancuan berpikir apalagi yang mengarah tindakan radikal, teror yang disebarkan melalui lembaga pendidikan, tak boleh dianggap sebelah mata. Dampak dari proses pendidikan mereka, sekarang memang belum terlihat massif. Dalam beberapa tahun mendatang, jika tetap dibiarkan eskalasi pikiran radikal dan teror serta berbagai perilaku emosional lainnya, akan makin meluas sehingga menjadi ancaman besar kedamaian dan ketentraman negeri ini.
Aparat berwenang perlu memikirkan konsepsi dan regulasi bagaimana mencegah lembaga-lembaga pendidikan yang nyata-nyata didirikan dan mengajarkan tindakan radikal apalagi terafiliasi jaringan teroris. Tak sekedar pengawasan namun perlu penataan misalnya, keharusan lembaga pendidikan bernaung dibawa organisasi keormasan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya, yang telah mendapat pengakuan pemerintah sejalan perundang-undangan. Demikian pula ormas-ormas dari kalangan agama lain. Sebab, hampir tidak mungkin pemerintah, dapat mengawasi keseluruhan aktivitas seluruh pendidikan di negeri ini.
Melalui ormas-ormas baik Islam maupun non-Islam, pengawasan dan monitoring lebih diharapkan dapat optimal. Karena bagaimanapun berbagai ormas itu telah memiliki rekam jejak serta jaringan yang sangat luas. Pertanggunjgawabanpun menjadi relatif lebih mudah.
Tak ketinggalan tentu saja, masyarakat luaspun perlu mendapat pencerahan pemikiran ketika menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan. Pengawasan terhadap aktivitas belajar anak-anak perlu terus dilakukan oleh para orangtua terutama melalui komunikasi dengan anak-anak sehingga perkembagan proses belajar tetap berada dalam koridor yang sejalan nilai-nilai pendidikan.
Mencegah ujaran kebencian, penyebaran sikap emosional, perilaku radikal, serta tindakan teroris memang perlu partisipasi seluruh masyarakat, ormas-ormas dan berbagai lembaga lainnya. Tidak bisa hanya tergantung pemerintah. Sebuah tugas berat yang memerlukan kesabaran serta ketekunan. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.