Oleh: Miqdad Husein (*)
Ketika persoalan teknis diseret ke wilayah politik atau dibungkus kepentingan politik, bukan hal luar biasa jika menimbulkan kehebohan. Politik sesuai wataknya, memang memiliki anatomi komunikasi. Itu artinya, obyek masalah tidak menjadi yang terpenting. Penyampaianlah, yang menjadi subtansinya. Pencitraan, begitulah masyarakat mengenalnya, jika menyangkut sosok seorang politisi.
Isi pesan menjadi tidak penting. Yang jauh lebih penting cara menyampaikan dan tentu saja, tujuannya. Maka, jangan aneh, persoalan teknis sekecil apapun bisa melebar ke mana-mana.
Begitulah yang terjadi dalam kasus terpeleset diksi Menteri Agama Yaqut Cholil Qounas. Soal teknis pengaturan suara toa, melebar ke mana-mana. Apalagi, ada ruang untuk mempermainkan soal teknis itu. Jadi, diakui atau tidak, Menteri Agama, sengaja atau tidak sengaja, seperti menyodorkan bola liar.
Penggunaan contoh suara anjing menggonggong, jelas pilihan diksi jauh dari enak didengar. Menjadi makin tidak enak ketika pesan yang disampaikan persoalan terkait agama, suara toa dari masjid. Dan celakanya, binatang tak bersalah bernama anjing itu, secara budaya dan persepsi keagamaan masyarakat muslim termasuk makhluk yang dijauhi. Menjadi hal yang wajar secara komunikasi jika kemudian menimbulkan kehebohan. “Masuk itu barang,” mengutif kalimat populer yang biasa dikatakan Politisi Partai Demokrat Almarhum Soetan Bathugana.
Jika menteri agama menggunakan contoh lain seperti suara musik cadas keras, kemungkinan akan berbeda reaksi masyarakat. Akan ada protes juga, maklum saja, dikaitkan soal agama. Hanya, tak akan seheboh seperti sekarang karena sebagian besar masyarakat masih menyukai musik sekalipun ada segelintir yang mengharamkannya.
Jadi, memang ada ruang untuk tercipta kehebohan karena pilihan diksi, yang berbahaya. Dan Roy Suryo, politisi Partai Demokrat, yang partainya berada di luar kekuasaan, memanfaatkan ruang itu dengan mempertegas kontradiksi menyandingkan kata Azan dan anjing. Roy di sini ibarat koki, yang makin mematangkan kehebohan memanfaatkan keterpelesetan Menteri Agama.
Tak ada kata Azan dalam video penjelasan Menteri Agama sekalipun persoalan teknis tentang toa, antara lain memang menyangkut suara Azan. Di sini disebut antara lain karena Azan hanya bagian dari pengaturan suara, yang keluar dari toa. Lainnya, ada soal tarhim, tadarus, ceramah, kajian keagamaan, salawatan atau pembacaan maulid dan lainnya. Namun, lagi-lagi di sini Roy Suryo, memilih diksi yang tepat untuk memanaskan suasana, dengan menyandingkan Azan dan anjing.
Ada keterpelesetan diksi, itu jelas. Ada pula yang memanfaatkan pun sangat jelas. Yang pertama, kemungkinan besar tidak sengaja, bertujuan ingin menguatkan argumen tentang pengaturan toa. Namun, yang kedua, Roy Suryo, sangat jelas, memanfaatkan kesalahan untuk kepentingan, yang tidak jelas. Atau, kalau mau dipaksa sangat jelas, Roy Suryo, menggunakan kesalahan paling tidak melalui bahasa politik oposisi.
Yang tidak disadari oleh Roy Suryo, apa yang dilakukan lagi-lagi menggunakan agama demi kepentingan politik. Politik identitas dipakai Roy Suryo dalam memainkan peran sebagai kader partai oposisi. Sebuah pengulangan, carut marut politik negeri ini ketika berlangsung Pilpres 2019 lalu, yang sampai sekarang lukanya belum hilang dan bisa jadi juga menunggangi soal anjing dan Azan.
Luka politik identitas belum sembuh, yang menyebabkan keterbelahan ummat masih sangat terasa sehingga memandang kekuasaan dengan penuh kecurigaan dan penuh kebencian, jauh dari proporsional. Roy Suryo seperti memperparah kembali. Maka, soal teknispun membuat heboh.
Maka tak usah heran sebagai bukti luka politik identitas memerah lagi, persoalan teknis toa melebar ke mana-mana. Tak ketinggalan plesetan seakan pemerintah melarang mengumandangkan Azan. Tudingan antek komunispun tak ketinggalan muncul di media sosial.
Bahwa persoalan toa demikian teknis dan masalah lama, terbukti dari pengaturan itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 1978. Karena sangat teknis hingga kurang mendapat perhatian memadai dan baru tahun belakangan muncul kembali. Termasuk ketika pernah disinggung pula oleh Mantan Wapres Jusuf Kalla, yang saat ini Ketua Dewan Masjid Indonesia.
Ingin bukti lain? Arab Saudi, yang selama ini jadi acuan aktivitas keagamaanpun mengatur persoalan toa. Bukan dilarang, tapi diatur kapan dan apa, serta volumenya. Juga, demi kepentingan kesehatan agar ummat dan masyarakat dapat tidur dan bangun tepat pada waktunya. Jangan sampai terjadi, akan sholat subuh jam 4.30, suara toa sudah ke luar jam 3.00 dini hari apalagi dengan suara meraung-raung.
Pengaturan toa dan pengeras suara masjid lainnya, jelas sangat ecek-ecek. Juga, relatif tergantung kondisi dan situasi masyarakat di lingkungan masjid. Bahkan jika dicermati, kadang arah anginpun mempengaruhi ke mana suara toa masjid lebih terdengar. Jika angin ke arah barat, suara terasa lebih keras, terdengar masyarakat yang berada di barat masjid, demikian juga bila arah angin berobah, masyarakat di sanalah yang lebih keras mendengar apapun dari masjid. Jadi, apa iya, mau mau meributkan sesuatu yang kata orang Madura nda’ tentu itu. Nda’ tentu arah, nda’ tentu angin, nda’ tentu terasa keras. Hem (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.