Oleh: Miqdad Husein (*)
Ketika membayar tagihan rekening air, di lokasi tak biasa, di sebuah kotamadya, seorang ibu tercengang. Bukan rasa kagum tapi keheranan. Apa pasal? Gedung yang sempat ditunjukkan seorang petugas keamanan memang luar biasa besar. “Menabjubkan untuk sebuah BUMD, yang hanya mengelola persoalan air keseharian warga,” gumannya.
Biasanya si ibu membayar rekening air di bangunankecil. Karena ada gangguan jaringan diarahkan pada kantor pusat. Sebuah gedung megah yang baru pertama kali dilihatnya, di lokasi yang tak disangka-sangka itulah yang membuat terperangah.
Keterkejutan ternyata bukan hanya ketika berhadapan gedung, yang terbentang di depan mata. Si ibu seperti diceritakannya, juga sempat menyaksikan gedung BUMN itu, di tempat lain, yang baru saja dibangun. Juga, tidak kalah besar serta megah. Lokasinya lebih strategis berada di jalan tergolong besar.
Keheranan dan keterkejutan si ibu didasarkan pemikiran apa iya, sebuah BUMN yang mengelola air minum warga se kotamadya perlu memiliki dua gedung besar megah luar biasa. Apa pula, katanya, yang diurus sehingga diperlukan bangunan megah, yang hampir pasti membutuhkan biaya besar saat membangun. Apalagi nanti jika berhitung perawatannya.
Dasar rasional ibu ini makin menukik ke dalam subtansi ketika disadari saat ini sedang memasuki era digital. Tidak urgen lagi gedung perkantoran besar karena semua serba praktis. Tidak perlu lagi penyimpanan lembaran kertas dalam jumlah besar dan lainnya. Mungkin hanya gudang saja yang lebih diperlukan. Jadi, makin membingungkan bangunan gedung besar megah untuk sebuah aktivitas perkantoran, tergolong sangat sederhana.
Seberapa kompleks sih mengurus persoalan administrasi pengelolaan air warga masyarakat setingkat daerah tingkat II. Perlukah memiliki dua gedung megah, sangat besar di era digital seperti sekarang?
Terasa di sini logika jauh dari proporsional pengelola lembaga pemerintah daerah atau yang masih merupakan milik pemerintah daerah yang lebih berpikir kemegahan tempat kerja dan bukan bagaimana mengefektivifkan kinerja. Seperti diungkapkan banyak budayawan, kebiasaan membangun gedung untuk kerja, yang kadang jauh dari proporsional masih menggejala. Kerja tak seberapa gedung dibangun megah, menghabiskan banyak biaya. Lebih parah lagi ketika jaminan kesejehteraan karyawan, terutama di tingkat bawah jauh dari memadai karena pucuk pimpinan lebih mengutamakan gagah-gagahan membangun gedung megah.
Dari bangunan gedung megah yang jauh dari proporsional untuk kebutuhan kerja terlihat jelas bagaimana efisiensi dan efektivitas kerjanya. Mereka lebih mengedapankan bangunan dibanding produktivitas kerja. Hampir merata fenomena ini terjadi di berbagai daerah di negeri ini.
Lebih parah lagi ketika pembangunan gedung sekedar ‘proyek’ yang dipaksakan. Apalagi kalau bukan diduga untuk mencari keuntungan pribadi pengelolanya.
Di negara-negara maju, seperti Jepang, perkantoran berbagai perusahaan sangat kecil. Apalagi di era sekarang ketika pekerjaan -kecuali yang memang operasional di lapangan, bisa dikerjakan dari rumah bahkan bisa sambil duduk-duduk di transportasi umum.
Cina mencapai kemajuan seperti sekarang antara lain dimulai merombak cara kerja jauh dari efisien. Mereka memacu produktivitas dan kualitas. Efektivitas dan efisiensi diterapkan dalam seluruh sektor tanpa kecuali. Jangankan persoalan administrasi, yang bisa ditangani bisa lewat ponsel. Semua pekerjaan dibuat praktis, ekonomis, efisien, efektif dan produktif. Sistem dan mereka yang menjadi bagian penghambat kinerja dibabat habis.
Mereka menyadari betul belantara persaingan yang makin keras. Kualitas, produktivitas, efisiensi biaya, marketing dan lainnya dibuat seoptimal mungkin mampu bersaing.
Presiden Jokowi, yang berlatar belakang pengusaha, sangat menyadari dan memahami belantara persaingan keras global. Karena itu selalu beliau mengingatkan tentang perlunya efisiensi, efektivitas, terutama pembenahan birokrasi -salah satu penyakit kronis- yang masih menjadi jelaga dan kendala kesiapan negeri ini, dalam persaingan global.
Ketika mendaftar apapun saat ini cukup menggunakan aplikasi digital, memang lucu jika masih menemukan aktivitas perkantoran pemerintah, pemerintah daerah, apalagi BUMD, BUMN, sibuk membesarkan dan membangga-banggakan kemegahan bangunan. Jika media sejenis koran berbahan kertas sudah mulai ditinggalkan, apalagi yang hanya sekedar tanda bukti kecil seperti kuitansi.
Dunia sudah berobah, terjadi digitalisasi berbagai bidang, tapi masih saja birokrasi sibuk urusan gedung yang jauh dari proporsional. Alamak. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.