Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Sebagaimana diperkirakan para ahli, seperti negara lain, Indonesia akhirnya mengalami pandemi Covid-19 gelombang ketiga. Varian baru Omicron menyerbu sehingga mulai mendekati angka terinfeksi saat gelombang kedua. Omicron, memiliki kekhasan dalam kecepatan penyebaran melebihi varian Delta, pada pertengahan tahun lalu, sehingga berpotensi melampaui dari tingkat eskalasi masyarakat terinfeksi.
Namun demikian dari tingkat dampak dan resiko pandemi gelombang ketiga penyebaran Omicron diyakini tidak akan separah gelombang kedua dan pertama. Keberhasilan vaksinasi, peningkatan kemampuan penanganan serta belajar dari pengalaman sebelumnya menjadi modal berharga menghadapi penyebaran sekarang hingga dampak berbahaya dapat diminimalkan.
Berbeda saat gelombang kedua, yang memang agak tak terduga, pandemi gelombang ketiga Omicron sebenarnya jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh para ahli. Pemerintah sangat intensif mengingatkan masyarakat tentang potensi bahaya mengancam gelombang ketiga. Apalagi, beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Eropa memberi ‘pelajaran’ lebih awal sehingga peringatan pemerintah memiliki dasar obyektif, ada bukti-bukti kongkrit. Namun agaknya, pembelajaran melalui pengalaman pahit negara lain tidak cukup kuat menggerakkan kewaspadaan masyarakat.
Sebelum tahun baru pemerintah bisa disebut ‘sangat rewel’ mengingatkan, terutama pemerintah daerah agar lebih aktif mendorong masyarakat agar tetap mentaati protokol kesehatan, paling tidak pemakaian masker. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan kecenderungan banyak pemerintah daerah seperti abai dengan berbagai peringatan pemerintah.
Secara psikologis memang dapat dipahami tentang penurunan kewaspadaan. Pandemi sudah berlangsung sekitar dua tahun sehingga kondisi psikologis mulai mendekati titik jenuh, kelelahan. Masyarakatpun seperti mulai kehilangan rasa sabar untuk segera beraktivitas normal.
Pemerintah sangat menyadari situasi psikologis pemerintah daerah dan masyarakat. Kebijakan penggunaan standar PPKM berdasarkan level adalah bentuk dari antisipasi persoalan psikologis. Bahwa, pemerintah daerah disatu sisi didorong mentaati protokol kesehatan pada sisi lain diberikan apresiasi melalui penurunan level PPKM. Demikian pula bila terjadi kelonggaran dan peningkatan pandemi, pemerintah tak segan menaikkan level PPKM.
Pemberlakuan level PPKM ini seharusnya menjadi parameter pemerintah daerah dalam mendorong ketaatan masyarakat untuk tertib Prokes. Angka level PPKM menentukan bagaimana dampak pandemi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Jika level paling rendah, memberi ruang lebih leluasa menggerakan ekonomi daerah, karena pandemi relatif menurun. Sebaliknya, jika level tinggi memberi dampak signifikan pada perkembangan ekonomi daerah.
Pada point inilah kita mengakui ada kekurangpekaan pemerintah daerah, sehingga menurunkan kewaspadaan mengantisipasi serbuan pandemi. Yang terjadi seperti terlihat belakangan ini, banyak daerah terimbas langsung peningkatan terinfeksi gelombang ketiga.
Pemberlakuan standar level PPKM sebenarnya memberi peluang daerah menunjukkan kemandirian dalam penanganan pandemi. Jika intensif penanganan pandemi, kecil kemungkinan ditetapkan sebagai daerah berlevel tinggi.
Dalam kesempatan memberikan pembelajaran penyusunan APBD kepada kepala daerah dari PDI Perjuangan, sebagai Ketua Banggar DPR RI berkali-kali menegaskan bahwa struktur APBD pada masa kontemporer sekarang ini, sangat dipengaruhi perkembangan pandemi. Jika pandemi menyebabkan daerah naik level PPKMnya akan menuntut melakukan refocusing sehingga merobah seluruh rencana kerja pemerintah daerah.
Konsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan APBD sangat jelas, di era sekarang ini dipengaruhi perkembangan pandemi. Jika sebuah daerah mampu menjaga perkembangan pandemi sampai titik relatif aman, level 1 misalnya, kemungkinan pelaksanaan perencanaan pembangunan yang tertuang dalam APBD akan lebih optimal. Sebaliknya, jika daerah mengalami kenaikan level, semakin berkurang optimalisasi pelaksanaan APBD.
Jangan lupa kondisi keuangan negara sangat terbatas. Jika pandemi terus berlangsung dapat mempengaruhi sangat signifikan kondisi keuangan negara.
Kita tak bisa mengingkari fakta riil pengaruh pandemi Covid-19 dan berbagai variannya. Seluruh dunia terdampak pandemi sehingga perencanaan apapun mau tak mau memperhitungkan fluktuasi pandemi. Kesadaran seperti ini, yang perlu diperhatikan seluruh aparat pemerintah, demikian pula aparat pemerintah daerah sampai struktur paling bawah.
Seluruh potensi masyarakat seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri harus bahu membahu saling mengingatkan perlunya menerapkan Prokes. Pandemi masih berlanjut dan sangat mempengaruhi seluruh sektor kehidupan. Sebuah ikhtiar yang memang memerlukan waktu panjang. Perlu kesabaran dan ketekunan serta kesungguhan ekstra dalam memutus pandemi agar kehidupan kembali normal. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.