Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 yang mewajibkan persyaratan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam beberapa layanan publik. Ada delapan layanan yang mewajibkan kepersertaan BPJS, antara lain pengajuan kredit usaha rakyat (KUR), permohonan izin berusaha, pelayanan pendidikan formal dan nonformal, permohonan administrasi pada Kemenkumham, pengurusan tanah di ATR/BPN, pengurusan ibadah haji dan umrah, pengurusan pendaftaran Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI), serta pengurusan SIM, STNK, dan SKCK.
Berbagai reaksi mengemuka mempertanyakan terutama kaitan antara kesertaan dengan berbagai layanan publik. Sayangnya berbagai reaksi mengabaikan realitas faktual ketersendatan kesertaan dan ketaatan masyarakat dalam membayar iuran. Termasuk disini ada upaya mengabaikan langkah pemerintah yang sudah lama membantu membayar iuran masyarakat miskin dalam jumlah sangat besar.
Inpres yang sempat menjadi perbincangan itu secara subtansi sebenarnya sudah lama menjadi wacana khususnya terkait upaya mendorong kepatuhan masyarakat dalam kesertaan JKN maupun pembayaran iuran. Pertimbangannya normatif bahwa kepersertaan sangat jelas tercantum dalam UU tentang JKN merupakan kewajiban seluruh warga negara. Pada tingkat lebih aplikatif, ketaktaatan juga terjadi pada proses pembayaran iuran sehingga mempersulit pengelolaan penanganan kesehatan masyarakat. BPJS baru satu tahun belakangan relatif mulai membaik setelah pemerintah menaikkan iuran untuk kalangan masyarakat menengah ke atas.
Sebelumnya karena masih rendahnya kepersertaan serta pemasukan dari pembayaran iuran, BPJS bukan hanya dihadapkan kesulitan membayar rumah sakit. Secara manajerial pengelolaan keuangan, agar mampu memberikan pelayanan optimal makin sulit dilaksanakan. Pemberian subsidi pemerintah kepada BPJS masih terus berlanjut sehingga kemandirian sulit diharapkan.
Terobosan melalui Inpres, memang kurang populer. Namun, ini jalan terbaik untuk mendorong masyarakat mengikuti kepersertaan serta ketaatan dalam membayar iuran. Inpres pada satu hal merupakan proses pendidikan kepada masyarakat untuk mentaati perundang-undangan, yang bertujuan memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat sendiri. Jadi, semua kembali kepada kepentingan kesehatan masyarakat.
Memang banyak ironi dalam persoalan BPJS, terkait ketaatan membayar iuran dan kesertaan masyarakat. Sering muncul komentar miring terhadap keharusan pembayar dengan menunjuk ketakmampuan ekonomi masyarakat. Pada satu sisi persoalan ketakmampuan memang ada benarnya. Namun, di sisi lain, harus diakui pula kontradiksi perilaku masyarakat.
Opini dikembangkan bahwa masyarakat diposisikan tidak mampu membayar iuran BPJS. Faktanya, masyarakat masih bisa berleha-leha membeli rokok. Untuk membayar iuran BPJS sekitar 35 ribu per bulan tidak mampu namun santai saja untuk membeli rokok sehari Rp 15 ribu, yang sebulan bisa mencapai mencapai 450 ribu.
Realitas sosial inilah yang seharusnya menjadi perhatian kalangan yang selama ini masih mempertanyakan berbagai upaya pemerintah mendorong ketaatan masyarakat dalam kepersertaan maupun ketaatan membayar iuran BPJS. Bagaimanapun dorongan pemerintah telah mempertimbangkan kondisi riil kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Bukankah kewajiban membayar iuran, benar-benar diarahkan kepada masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi. Sementara, masyarakat yang benar-benar tidak mampu, sampai sekarang iuran masih ditanggung oleh pemerintah.
Sampai saat ini ada sekitar 96,8 juta lebih masyarakat, yang kepersertaan dan iuran BPJS dibebaskan dan ditanggung pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di luar itu, keanggotaan kelas tiga masih disubsidi pemerintah sebesar Rp 7.000 rupiah per orang.
Dorongan pemerintah melalui Inpres tidak menutup mata kepada kondisi masyarakat yang benar-benar tidak mampu yang tetap mendapat bantuan pemerintah.
Ungkapan klasik bahwa biaya sakit mahal adalah realitas tak terbantahkan. Kesehatan merupakan sektor yang setiap tahun mengalami kenaikan melebihi angka inflasi.
Sangat tidak mudah mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang berjumlah 270 juta. Kebersamaan melalui konsep Jaminan Kesehatan Nasional, diharapkan menjadi solusi paling rasional. Karenanya penting seluruh masyarakat terutama yang relatif memiliki kemampuan melaksanakan amanah UU tentang JKN untuk menjadi peserta dan taat membayar iuran BPJS.
Kesertaan serta ketaatan membayar iuran serta peningkatan profesionalisme pengelolaan BPJS diharapkan dapat mewujudkan kebersamaan bersemangat gotongroyong, untuk saling membantu mengatasi problem kesehatan seluruh rakyat negeri ini. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.