Oleh: Miqdad Husein (*)
Ketika omicron mulai merebak belakangan ini, beberapa kali muncul komentar di media sosial bernada kecurigaan kepada pemerintah. Muatan komentar menganggap munculnya omicron yang mulai meningkat di akhir Januari sebagai bagian dari ketidaksukaan pemerintah pada ummat Islam.
Di mana persambungannya? Mereka beranggapan nantinya, merebaknya omicron akan terus berlanjut hingga Maret, lalu April kemudian dijadikan alasan pemerintah melarang mudik. Mungkin juga akan ada pembatasan melaksanakan taraweh dan berbagai aktivitas lainnya.
Terlihat jelas kan, arah pemikirannya. Semua berangkat dari asumsi bahwa pemerintah anti Islam, tidak bersikap simpati kepada ummat Islam, melarang aktivitas keislaman, kebijakan pemerintah merugikan umat Islam, termasuk yang paling keterlaluan menuding kriminalisasi ulama.
Jika ditanya kepada mereka, misalnya tudingan paling ekstrim tentang kriminalisasi ulama, siapa ulama yang dikriminalisasi? Berapa jumlahnya? Seperti biasa tak bisa memberikan bukti. Paling-paling menyebut Rizieq Shihab, yang sebenarnya di era SBY bahkan dua kali dipenjara tapi tak pernah ada tudingan sebagai tindakan kriminalisasi ulama.
Jadi, merebaknya omicron dianggap sebagai upaya pemerintah merugikan ummat Islam ya itu tadi, antara lain, larangan mudik. Pemerintah masih menurut mereka, sengaja merekayasa dari sejak sekarang, sehingga nanti pada saat mau Idul Fitri, pemerintah bisa leluasa melarang mudik.
Jangan berusaha mencari persambungan logikanya atau dasar rasionalnya. Tidak akan dapat ditemukan. Karena semua berangkat dari asumsi, dugaan, persepsi yang merupakan bagian dari desain menganggap pemerintah anti Islam. Sejalan dengan pemikiran bahwa apapun merupakan kesalahan Jokowi. Semua yang dilakukan Jokowi salah! Titik.
Ketika dipaparkan bahwa peningkatan omicron terjadi juga di berbagai negara, mereka menutup mata. Tidak peduli. Pikiran mereka sudah terpola bahwa omicron di Indonesia bagian dari rekayasa pemerintah sebagai bentuk ketaksukaan pada umat Islam. Melarang mudik adalah salah satu bentuk itu.
Yang berpikir rasional mungkin merasa heran. Lho, apa untungnya pemerintah Presiden Jokowi melarang mudik. Justru pelarangan mudik dapat merusak citra kepemimpinannya karena mengurangi peningkatan perkembangan dan pemerataan ekonomi daerah. Apa iya pemerintah merusak dirinya sendiri?
Mudik justru diupayakan dapat berjalan baik. Pemerintah menfasilitasi semuanya. Bahkan mempersiapkan jauh hari sebelumnya dari sejak sebelum bulan puasa. Semua kementrian terkait mempersiapkan pelaksanaan mudik. Segala daya dan upaya dikerahkan.
Apa kepentingan pemerintah bersusah payah mengurus mudik? Pertama tentu saja, sebagai bagian dari kehadiran pemerintah membantu masyarakat khususnya ummat Islam, yang akan mudik ke berbagai daerah. Kepentingan lain adalah bagian dari pemerataan dan perkembangan ekonomi daerah. Melalui aktivitas mudik, akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi daerah sehingga memberikan pengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Jadi, bukan hanya tanpa bukti dan tak akan pernah ditemukan alasan pemerintah untuk mencegah mudik. Bahkan merupakan kecurigaan sangat kontradiktif dari kebijakan mendasar pemerintah. Mana mungkin pemerintah akan melarang aktivitas masyarakat yang memberi nilai signifikan terhadap perkembangan ekonomi nasional.
Hal mandasar lain, yang mereka lupakan adalah betapa pemerintah seperti juga berbagai negara di dunia, sangat kesulitan menghadapi pandemi. Berbagai perencanaan pembangunan dan perbaikan fasilitas masyarakat terpaksa dihentikan karena anggaran difocuskan kepentingan penanganan pandemi dan dampaknya.
Yang terlewatkan lagi pemikiran positif. Bukankah jika dilarang mudik misalnya, merupakan bagian dari upaya pemerintah menyelamatkan ummat Islam sehingga terbebas dan selamat dari terinfeksi Covid? Artinya, ummat Islam diuntungkan karena diselamatkan. Tentu ini jika berangkat dari pemikiran jernih.
Seperti ungkapan arif, jika benci sudah membuncah, yang tersenyum dianggap sinis, yang tertawa dianggap mengejek, yang diam dianggap tidak peduli. Semuanya, salah. Begitulah, ketika pikiran dipenuhi kebencian. Akal sehat tidak berfungsi baik. Apalagi ketika kebencian dibumbui nuansa agama, makin kuatlah sehingga merasa seakan sebagai ibadah. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.