Oleh: Miqdad Husein (*)
Kunjungan Ketua DPR RI Puan Maharani ke Jawa Tengah meninggalkan sedikit kegaduhan. Ini terkait ‘curhat’ Puan Maharani terhadap perilaku Kepala Daerah dari PDI Perjuangan, yang ‘tidak menyambut’ kunjungannya. Sebuah pernyataan yang sebenarnya lebih merupakan ekspresi manusiawi untuk mengingatkan nilai penting silaturrahmi, relasi sosial yang bernilai strategis.
Manusiawi di sini dalam konteks hubungan sosial, yang merupakan bagian keseharian masyarakat Indonesia. Termasuk telah menjadi semacam kebiasaan dalam relasi politik. Apalagi jika berada dalam perahu partai politik sama.
Puan yang akrab dipanggil Mbak PM mungkin merasa aneh ketika berkunjung ke Jawa Tengah, yang merupakan basis PDI Perjuangan ternyata kader terbaik di Jawa Tengah, tidak terlihat batang hidungnya. Tentu di sini bukan soal protokoler keharusan kepala daerah menyambut Mbak PM walau sebenarnya masih wajar saja jika seorang Ketua DPR berharap ditemui para tokoh daerah; apalagi yang sama-sama dari PDI Perjuangan.
Ada yang memberikan reaksi negatif sebagai sikap manja Mbak PM. Mardani Ali Sera, politikus dari PKS lain lagi. Ia langsung menyambar menangkap menggunakan bahasa politik, yang bernada suara oposisi.
Konteks pernyataan Mbak PM sebenarnya justru menyentuh persoalan kemanusiaan, di wilayah politik yang sarat kepentingan. Beliau seperti mengingatkan tentang nilai penting silaturrahmi. Bukan persoalan penyambutan kehadiran sebagai pejabat dari pusat, ke daerah. Bukankah politik itu perkawanan, pertemanan.
Jangankan sesama kader partai politik bahkan kader antar partaipun, ketika ada relasi sosial pertemanan wajar saja, jika kemudian saling melepas kangen ketika ada momentum seperti kunjungan. Katakanlah ketika ada sosok dari partai tertentu, yang kebetulan sedang menjabat di pusat berkunjung ke daerah, kemudian karena ikatan pertemanan ditemui oleh kader partai lain. Sesuatu yang sangat Indonesia!
Di sinilah inti persoalannya: kemanusiaan, nilai silaturrahmi. Mbak PM ingin mengingatkan sesuatu yang wajar saja, mempertanyakan kehadiran seorang kader PDI Perjuangan, yang kebetulan menjadi pucuk pimpinan di Jawa Tengah. Tak usah melihat posisi Mbak PM sebagai Ketua DPR RI. Bukankah merupakan kewajaran jika ada kader PDI Perjuangan dari pusat, yang berkunjung ke daerah Jawa Tengah, ditemui -tak usah menggunakan kata disambutlah- oleh kader PDI Perjuangan yang berada di Jawa Tengah.
Mardani Ali Sera, sebagai tokoh PKS, yang merupakan partai Islam harusnya lebih memahami nilai penting silaturrahmi antar sesama kader se partai. Lebih-lebih jika mengacu ajaran agama Islam, yang menjadi identitas PKS. Bukankah menjaga silaturrahmi merupakan kewajiban dan bukan sekedar kewajaran.
Di sini terlihat Mardani sebagai kader partai Islam melupakan salah satu nilai ajaran Islam. Mbak PM yang mengingatkan nilai penting silaturahmi justru direspon dengan bahasa oposisi. Bukan diapresiasi sebagai ‘dakwah’ yang mengingatkan nilai penting silaturahmi.
Pada sisi inilah Mbak PM, mengingatkan tentang relasi sosial, komunikasi sesama kader partai. Bayangkan, jika antar kader sesama partai saja, tidak ada relasi silaturrahmi apalagi antar partai. Betapa tidak menarik dunia politik, jika sepenuhnya dipenuhi jarak-jarak hanya atas dasar pertimbangan kepentingan. Sangat menjemukan dunia politik bila kering kehangatan hubungan sosial dan terutama kemanusiaan.
Mbak Puan sejatinya seperti mengingatkan kader sesama partai agar terus menjalin silaturrahmi, hubungan sosial. Tidak penting memiliki jabatan apa. Yang terpenting sebagai sesama kader, harus saling menyegarkan hubungan sosial, silaturrahmi dan sejenisnya. Demikian pula, antar kader partai yang berbeda. Bagaimanapun walau berbeda partai tetap berada dalam rumah besar Indonesia. Apalagi, jika sama-sama kader PDI Perjuangan. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.