Oleh: Miqdad Husein (*)
Pemerintah -jika tanpa ada hal luar biasa- telah memutuskan membolehkan masyarakat mudik lebaran Idul Fitri dengan beberapa persyaratan. Antara lain, mengharuskan masyarakat yang akan mudik telah menyelesaikan vaksin lengkap, termasuk booster. Alasan pemerintah sangat kasat mata, karena kasus terinfeksi Covid memperlihatkan penurunan signifikan.
Namun demikian pemerintah, tampaknya sangat berhati-hati dalam membuka pintu mudik. Ini terlihat dari pemberlakuan persyaratan relatif ketat, itu tadi, keharusan vaksin lengkap kepada siapapun yang ingin merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman.
Keputusan melegakan itu, selain dianggap merupakan kabar gembira karena masyarakat dapat mudik setelah dua kali lebaran tertahan, memberi gambaran lebih luas lagi tentang kemungkinan pandemi segera berakhir. Beberapa ahli memang memperkirakan September 2022 diperkirakan kasus Covid-19 bukan lagi sebagai pandemi melainkan endemi.
Yang menarik, sikap kehati-hatiaan pemerintah yang mensyaratkan kelengkapan vaksin oleh sementara kalangan dianggap mempersulit ummat Islam. Seakan-akan, seperti biasa, pemerintah dianggap kurang bersikap baik kepada ummat Islam. Sebuah opini menyesatkan, yang sengaja digaungkan sebagai sisa-sisa Pilpres 2019.
Seorang intelektual muslim, yang bermukim di Amerika Serikat, Shamsi Ali membandingkan pemberlakuan kewajiban booster ummat Islam saat mudik dengan pelaksanaan MotoGP Mandalika. “Apakah yang hadir di balapan motor Mandalika dipersyaratkan booster? Kalau tidak, lalu kenapa yang mudik ada syaratnya?” katanya, dalam salah satu tweetnya.
Jelas, pernyataan Shamsi menggambarkan seakan pemberlakuan booster merupakan sikap diskriminatif pemerintah kepada ummat Islam. Lagi-lagi ini pandangan khas bernuansa politik identitas, yang menggambarkan bahwa pemerintah bersikap kurang baik kepada ummat Islam.
Pemikiran senanda Shamsi Ali ini bertebaran di media sosial. Hanya karena ada euforia pembolehan mudik sehingga tidak menimbulkan kegaduhan berlebihan.
Dari sini, dapat tergambar jelas. Jika sekaliber Shamsi Ali, yang dikenal sebagai cendikiawan muslim dan bermukim di negara kampiun demokrasi saja, tidak mampu memandang masalah pandemi secara obyektif, apalagi kalangan awam, yang masih terimbas politik identitas.
Jelas pembandingan mudik dengan acara MotoGP Mandalika merupakan kengawuran luar biasa. Apalagi masyarakat mengetahui betapa peserta MotoGP tak ketinggalan sebelum terjun ke arena diwajibkan PCR. Sebelum pemberlakuan perjalanan hanya disyaratkan cukup vaksin lengkap, mereka yang datang ke Nusa Tenggara Barat, Bali dan daerah lainnya, tetap harus memenuhi persyaratan negatif Covid melalui tes antigen atau PCR.
Dari segi kuantitas even MotoGP Mandalika paling banyak hanya ratusan ribuan. Bandingkan dengan pelaksanaan mudik, yang pada tahun 2019 saja, Kementrian Perhubungan memperkirakan mobilitas masyarakat mencapai sekitar 23 juta. Dan jika lebaran tahun ini dibuka pintu mudik, kemungkinan lebih banyak sangat terbuka. Masyarakat, yang cukup lama tertahan tidak pulang kampung, akan berbondong-bondong mudik.
Pemikiran pemerintah mempersulit mudik dengan keharusan booster makin memperlihatkan kerancuan berpikir jika menghitung manfaat mudik bagi pertumbuhan ekonomi daerah, yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Sudah menjadi rahasia umum, mobilitas mudik, mampu menstimulus pergerakan ekonomi daerah. Mudik, disebut-sebut seperti terobosan selintas menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan ibukota karena peredaran arus uang ke daerah tujuan mudik. Jadi, pemerintah justru berkepentingan terlaksana kegiatan mudik dan sangat tidak rasional, tudingan pemberlakuan booster sebagai kebijakan mempersulit ummat Islam.
Jika sedikit saja berpikir jernih dan menggunakan pikiran positif, ummat Islam perlu berterima kasih dengan pemberlakuan booster. Ini artinya, pemerintah peduli terhadap kesehatan, keselamatan ummat Islam. Persyaratan itu justru bertujuan melindungi ummat Islam. Sayang, pikiran ini tidak muncul akibat tertutup persepsi dan pandangan kebencian yang jauh dari sikap obyektif.
Apakah pemerintah berkepentingan dengan pemberlakuan booster. Jelas dan tegas, memang menyangkut kepentingan pemerintah, termasuk pula pemerintah daerah terkait tugas menjalankan roda pemerintahan. Pemberlakuan keharusan booster itu merupakan upaya pemerintah agar pandemi yang mulai menurun tidak mengalami lonjakan lagi sehingga jauh berkurang bahaya mengancam keselamatan rakyat. Jika terjadi lonjakan dasyat, seperti gelombang kedua, kemampuan pemerintah menangani keuangan negara seperti juga negara-negara di dunia, akan kelabakan. APBN dan APBD tidak akan mampu lagi menangani jika pandemi kembali merebak. Yang rugi, sudah pasti rakyat, yang jika menggunakan standar demografi, mayoritas rakyat yang beragama Islam.
Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Itulah yang sedang diterapkan pemerintah melalui upaya keharusan booster. Kepentingan keselamatan rakyatlah, yang menjadi pertimbangan utama.
Menjadi aneh bin ajaib, jika pemerintah mensyaratkan booster demi keselamatan rakyat justru dipandang negatif sebagai upaya mempersulit ummat Islam melaksanakan mudik. Aneh juga, jika seremoni mudik dan Idul Fitri, yang sholatnya saja sunnah, dipertaruhkan dengan mengabaikan kesehatan dan keselamatan ummat. Yang wajib saja, jika berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan boleh digeser, ditunda apalagi yang hanya sekedar sunnah dan seremoni budaya.
Pandemi belum berakhir. Karena itu, tindakan dan perilaku apapun seharusnya masih mematuhi Prokes dan upaya kesehatan lainnya seperti vaksinasi. Itulah, ikhtiar yang perlu terus diupayakan seluruh rakyat negeri ini. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.