Oleh: Miqdad Husein (*)
Istilah ‘Crazy Rich’ belakangan ini demikian bertebaran dalam pemberitaan baik media mainstream maupun media sosial. Penayangan sangat gencar di media elektronik, makin membuat kata itu, seakan santapan keseharian, yang selalu tersedia di meja makan. Benar-benar menghebohkan hingga anak-anak kecilpun, yang tak mengerti ujung pangkal persoalan ikut-ikutan meneriakkan.
Ikhwal istilah Crazy Rich merebak bagai meteor berawal sebagai penyebutan kepada orang kaya di Indonesia. Kebetulan, yang diberitakan sosok kaya kalangan anak-anak muda, yang usianya baru sekitar -kata orang Jawa ‘likuran.’ Ada yang masih berusia 23 tahun. Yang lainnya, dibawa 30 tahun.
Beberapa stasiun telivisi sempat menayangkan sekitar 8 orang anak muda yang disebut Crazy Rich dari berbagai daerah. Mereka diperkenalkan penuh pesona luar biasa. Maklum saja, seusia mereka, biasanya kebanyakan masih sedang kuliah atau baru merintis usaha. Sementara mereka, disebut memiliki kekayaan puluhan milyar. Sempat beberapa dari mereka secara demonstratif mengulurkan tangan baik dalam bentuk sumbangan atau tanda kasih pernikahan kepada para selebrity dalam jumlah spektakuler. Ratusan bahkan ada yang sampai mendapat satu milyar rupiah. Luar biasa.
Kehebohan Crazy Rich makin meledak bagai bom Hirosima ketika pemberitaan tentang mereka bernuansa spesial dalam format sangat buram. Beberapa orang yang disebut dengan istilah ini ditangkap oleh pihak berwajib. Sebuah obyek pemberitaan dan perbincangan sangat seksi memang. Mencuat tinggi sebagai prestasi dasyat, lalu terjatuh diduga sebagai pesakitan. Jelas dua situasi itu, masuk katagori ‘berita’ spektakuler. Berita di sini tak hanya dalam konteks normatif tapi juga menjadi menu spesial perbincangan kesehariaan masyarakat. Viral, begitu istilah populernya.
Soal sepak terjang mereka, yang diduga melakukan tindak pidana penipuan, biarlah menjadi urusan aparat hukum. Sebuah kejadian, yang selalu mewarnai kehidupan keseharian manusia. Selalu ada orang-orang yang memanfaatkan keilmuan untuk tujuan menguntungkan melalui cara-cara haram. Bahwa ini kasus menarik sebagai penipuan karena para pelakunya masih muda, serta sempat dijadikan ‘idola’ sebagai generasi muda sukses luar biasa.
Yang menjadi masalah dan boleh jadi telah mewabah sebagai penyakit adalah kecenderung demikian luar biasa masyarakat yang terpesona godaan sejenis para pesakitan itu. Demikian mudah masyarakat tergiur oleh janji-janji irrasional sehingga terperangkap menjadi korban penipuan.
Demikian banyak masyarakat yang menjadi korban diduga penipuan para Crazy Rich itu. Formatnya hampir sama dengan kejadian penipuan sejenis: meraih keuntungan secara cepat dalam jumlah tidak biasa. Di sini pengertian tidak biasa, jika diukur dari bunga bank, berkali-kali lipat nilainya. Dari segi kecepatan, tidak memerlukan waktu serta cenderung mengabaikan proses normal. Tidak memerlukan kerja keras.
Sebuah tawaran menggiurkan memang walau jauh dari akal sehat. Dan celakanya, masih saja masyarakat berjubel terpesona, tergiur lalu melangkah tanpa lagi berpikir panjang. Yang terbayang untung besar, kerja ringan dan hasil instan. Gairah itu makin mencapai ubun-ubun ketika tawaran dibumbui bungkus agama. Investasi syariah, bisnis syariah, investasi tanpa riba, niaga syar’i, transaksi nabuwah dan sejenisnya.
Yang membuat miris, kejadian sejenis terulang dan terulang. Dan, masyarakat seperti tidak kapok menjadi korban impian kosong. Ya itu tadi, karena ingin cepat untung, tanpa kerja keras dan waktunya singkat.
Di era digital seperti sekarang ini, praktek-praktek sejenis menjamur menawarkan impian-impian indah. Ada yang dibungkus bisnis murni, ada yang memang perjudian, money game dan sejenisnya. Untuk yang ‘tebak-tebakan’ memang sudah jelas. Yang jadi masalah tawaran berbungkus investasi tapi jauh dari rasional dan hampir dapat dipastikan penipuan masih saja diminati luar biasa oleh sebagian masyarakat.
Jika penipuan berkedok investasi berformat sederhana masih mengundang peminat besar, terutama yang berbungkus agama apalagi tawaran ‘penipuan’ melalui perangkat digital demikian beragam serta penuh pesona indah. Terpapar ketaksiapan masyarakat dalam menyikapi perkembangan dunia digital. Ternyata tidak hanya mudah tertipu sebaran hoax, fitnah, dunia digital mulai merembes kencang menipu kantong-kantong masyarakat.
Jelas, sangat tidak mungkin berharap Kemeninfo semata menghadapi belantara tipu-tipu dunia digital. Perlu pembekalan pemahaman serius serta massif jika tak ingin makin banyak masyarakat larut menjadi korban. Banyak masyarakat hanya bisa memegang ponsel, berselancar dalam dunia digital tapi tidak menyadari bahaya mengancam baik godaan perusak moral, distorsi pemikiran, perilaku, termasuk diam-diam mengeruk isi kantong mereka. Sebuah ketaksiapan, yang menghawatirkan dan telah menelan demikian banyak korban. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.