Oleh: Miqdad Husein (*)
Salah satu penyakit atau bisa juga disebut kelemahan masyarakat adalah mudah mengalami kepanikan ketika sedikit saja terjadi situasi kurang menguntungkan. Misalnya, yang lagi aktual, kasus ‘kelangkaan’ minyak goreng. Untuk sedikit saja kelangkaan kebutuhan yang tidak terlalu besar dalam kehidupan keseharian, merebak kegaduhan mencengangkan. Pemberitaan media sosial, yang cenderung lebay alias berlebihan makin menambah kepanikan.
Dengan perhitungan sederhana saja, minyak goreng merupakan salah satu kelengkapan kebutuhan memasak tergolong tidak terlalu banyak. Sebuah rumah tangga ukuran sedang, katakanlah rata-rata, membutuhkan hanya sekitar satu liter dalam seminggu bahkan bisa sepuluh hari. Jadi, tidak terlalu banyak.
Satu lagi, keterbatasan minyak goreng tidak akan membuat aktivitas memasak total terhenti. Masih banyak cara memasak, yang bila kondisi terdesak, dapat mengabaikan kebutuhan minyak goreng. Jadi, keterbatasan atau ketiadaan minyak goreng, tak akan membuat hidup mengalami kesusahan parah. Hidup masih dapat terus berlanjut.
Untuk di Indonesia, ketiadaan minyak goreng di pasar, yang berbahan sawit, juga masih dapat disiasati -jika memang mendesak membutuhkan untuk menggoreng bumbu (tumis misalnya) dapat dengan mudah membuat dari kelapa dan bahan lainnya. Menumis bolehlah disebut salah satu aktivitas memasak membutuhkan minyak goreng, yang praktis sebenarnya sangat sedikit.
Tapi, cobalah menyaksikan riak-riak kelangkaan minyak goreng, di tengah masyarakat belakangan ini. Kesannya, sangat dasyat seakan gonjang ganjing dunia akan runtuh. Operasi pasar yang diupayakan pemerintah, lembaga sosial, di beberapa daerah seperti acara konser musik besar. Masyarakat berbondong-bondong, berdesakan, berpanas ria hanya untuk mendapat seliter dua liter minyak goreng. Jangan lupa, bukan gratis tapi membeli dengan harga wajar 14 ribu rupiah per liter. Sengaja soal harga ini perlu ditulis lebih jelas karena pada dasarnya minyak goreng masih dapat dibeli, dengan harga dalam kisaran 17 ribu rupiah perliter. Itu artinya lagi, pembelian minyak goreng dari acara operasi pasar yang seakan pertarungan itu, berbeda sekitar 3 ribu rupiah, per liter minyak goreng.
Media sosial, demikian pula media mainstream saat memberitakan kelangkaan minyak goreng, entah dengan tujuan apa, tak kalah heboh dengan para ibu yang ‘mengejar’ minyak goreng. Kondisi ini, jelas makin membuat para produsen demikian jumawa. Masyarakat yang rentan panik jelas merupakan sasaran empuk untuk mempermainkan pasar. Bayangkan, dengan sedikit main-main saja, gejolak pasar bisa demikian dasyat.
Para petualang politik, yang kurang percaya diri, tak kalah culas memanfaatkan kondisi kejiwaan masyarakat. Mereka tak peduli apapun selain menari-nari di atas kepanikan masyarakat.
Kehebohan sejenis minyak goreng ini, agak sering terjadi di tengah masyarakat. Jangankan di daerah terpencil, di kota Jakarta saja, yang tingkat kemudahan sangat luar biasa serta pendidikan masyarakat relatif baik, kepanikan pasar mudah terjadi. Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan akibat merebaknya pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, sempat pula terjadi apa yang disebut panic buying. Memborong belanja habis-habisan.
Kondisi panic buying ini jelas sangat merugikan masyarakat sendiri. Akan makin memperparah keterbatasan atau kelangkaan kebutuhan masyarakat. Masyarakat akan memborong dalam jumlah besar kadang melampaui kebutuhannya. Ini menyebabkan masyarakat makin banyak yang mengalami kesulitan.
Di manapun panic buying, akan makin mempersulit penanganan kebutuhan apalagi dalam kondisi keterbatasan. Sebanyak apapun ketersediaan komoditas kebutuhan, jika berhadapan kondisi panic buying, ketika masyarakat berbondong-bondong memborong dalam jumlah berlebihan, tak akan mampu mencukupi.
Produsen apapun jelas memperhitungkan jumlah produksi atas dasar kebutuhan pasar keseharian. Ketika masyarakat tiba-tiba memborong melebihi kebiasaan, jelas akan timbul kelangkaan. Paling tidak dalam waktu relatif pendek, sampai produsen atau distributor serta pengencer segera dapat berbenah diri.
Seluruh situasi panic buying sangat merugikan masyarakat dan memperkuat posisi tawar menawar produsen, pabrik, distributor atau apalah. Para pelaku pasar, akan makin mudah mempermainkan harga sehingga masyarakat bukan hanya akan berhadapan kelangkaan tapi juga kemungkinan potensi kenaikan harga yang mencekik leher.
Di sinilah sangat penting ketenangan dan kejernihan berpikir masyarakat. Demikian pula para tokoh masyarakat, agamawan, para pemimpin formal untuk menenangkan masyarakat agar dapat berpikir jernih dan bertindak rasional. Hanya melalui ketenangan jauh dari kepanikan, masyarakat dapat ‘melawan’ kemungkinan permainan pasar. Tentu di sini pemerintah perlu pula bersikap tegas terhadap produsen apapun, yang memproduksi kepentingan masyarakat jika ternyata menjadi penyebab timbulnya kegaduhan.
Ketenangan dan kejernihan pemikiran masyarakat merupakan senjata utama dalam menghadapi pemanfaatan situasi oleh dunia usaha, pebisnis, pelaku pasar. Contoh paling riil soal masker. Ketika pertama terjadi pandemi, para pelaku pasar mempermainkan harga sangat luar biasa. Masker, satu box berisi 50 lembar, yang biasanya berharga hanya 30 ribuan, dijual ratusan ribu dan bahkan ada yang menjual sampai seharga satu juta rupiah.
Dunia usaha, pasar benar-benar memanfaatkan situasi pandemi sangat gila-gilaan. Masyarakat sempat selama beberapa bulan mengalami kepanikan sehingga mengalami kesulitan menghadapi kelangkaan masker dan harga pun jika ada mencekik leher.
Suasana pembatasan aktivitas rupanya mengarahkan dan membangkitkan ketenangan masyarakat sehingga pelan-pelan melakukan perlawanan pasar. Mulai muncul aktivitas masyarakat membuat masker kain dan sejenisnya, mengurangi ketergantungan pada pembelian masker. Sementara, para pelaku pasar masih berpikir memanfaatkan kondisi pandemi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Di sini terjadi ‘pertarungan’ antara permintaan dan ketersediaan. Masyarakat, yang mulai berinisiatif, pelan mulai mengurangi ketergantungan pada pasar. Seperti diketahui, masker yang sempat ratusan ribu bahkan mendekati angka satu juta, saat ini satu box dapat diperoleh dengan harga hanya 10 ribu rupiah. Terbayang, betapa dasyat kekuatan kejernihan berpikir masyarakat menghadapi pasar, yang mempermaikan harga.
Panic buying jelas merupakan kondisi yang membuat pengusaha makin jumawa sementara masyarakat dibuat lebih terpuruk, menderita. Sekali lagi, perlu upaya membiasakan masyarakat mengedepankan sikap rasional, dalam menghadapi situasi sesulit apapun. Penting para tokoh masyarakat berperan aktif, mendorong dan membangkitkan ketenangan masyarakat. Pemerintah harus pula bertindak tegas kepada pengusaha, yang jelas-jelas mengabaikan dan mempermainkan kebutuhan masyarakat.
Ketika kehilangan kejernihan berpikir, kesulitan kecilpun dapat berakibat kegaduhan. Apalagi, jika terbentang kesulitan besar. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.