Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Dalam beberapa pekan ini di tengah masyarakat terjadi kelangkaan minyak goreng (Migor). Kalau toh ada, harganya kadang jauh dari normal, sangat tinggi. Mengalami kenaikan mendekati 100 persen dari harga normal.
Sebuah merk minyak goreng populer kemasan 2 liter biasanya dibandrol sekitar 28 ribu, naik menjadi 48 ribu. Pemerintah sempat intervensi sehingga harga turun menjadi sekitar 40 ribuan. Namun secara keseluruhan keputusan pemerintah yang menetapkan harga per liter 14 ribu ternyata di lapangan sulit terlaksana.
Pasar agaknya jauh lebih kuat dibandingkan penetapan pemerintah sehingga harga minyak goreng tetap tinggi. Sempat usai penetapan harga pemerintah minyak sempat menghilang. Beberapa penimbunan minyak goreng sempat ditemukan aparat di beberapa daerah yang langsung diproses hukum.
Harga CPO di pasar global sedang naik. Pengusaha agaknya lebih tergoda memenuhi kebutuhan di luar negeri yang harganya menggiurkan. Lagi-lagi di sini logika pasar semata yang dikedepankan pengusaha.
Sebenarnya tak masalah mencari keuntungan dari kenaikan CPO di pasar global. Namun pengusaha seharusnya memiliki moral bisnis untuk memperhatikan kebutuhan di dalam negeri.
Jika krisis minyak goreng terus berlanjut pemerintah perlu mengambil langkah tegas menyetop ekspor CPO seperti pernah terjadi dalam krisis batubara -untuk memenuhi kebutuhan PLN beberapa waktu lalu. Ini jika pengusaha masih saja tidak peduli kepentingan masyarakat. Bagaimanapun, hukum tertinggi adalah menyelamatkan kepentingan rakyat.
Logika mengharuskan mengedepankan ‘sedikit’ moral berbisnis ini dalam persoalan minyak goreng bukan tanpa dasar. Pertama, bukankah pengusaha minyak goreng selama ini, sebelum kenaikan CPO di dunia, memanfaatkan pasar dalam negeri. Itu artinya pengusaha telah menikmati keuntungan luar biasa dalam durasi waktu lama dari konsumen masyarakat Indonesia.
Sedikit pertimbangan moral memperhatikan konsumen lokal seharusnya ‘disisakan.’ Keterlaluan jika sepanjang waktu mengeruk keuntungan dari masyarakat, sedikit saja ada kenaikan keuntungan di luar sana, langsung mengabaikan kepentingan lokal. Ini jelas mental bisnis yang jauh dari semangat nasionalisme. Sangat tidak peduli untuk sekedar memenuhi kebutuhan minyak goreng yang hanya sedikit mengurangi keuntungan. Ya, hanya sedikit mengurangi keuntungan dengan lebih dulu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri ketimbang habis-habisan mengejar keuntungan dari kenaikan CPO.
Mereka juga terlihat kurang mempertimbangkan dampak sosial ketika masyarakat kebingungan mendapatkan minyak goreng. Jika terjadi kericuhan, bukankah mereka sendiri akhirnya yang dirugikan. Bukankan dunia bisnis memerlukan kedamaian dan ketenangan masyarakat. Pengusaha seharusnya berpikir integral, jangan hanya mengejar emas di negeri seberang , mengabaikan sedikit kebutuhan masyarakat di dalam negeri.
Kedua, para pengusaha sudah demikian lama mendapat hak perizinan pengelolaan sawit, melalui pemberian HGU yang luar biasa. Seharusnya mereka menyadari telah mendapat ‘sesuatu’ yang sebagian besar masyarakat lain tidak mendapatkannya. Dan tidak banyak yang diharapkan masyarakat: hanya kebutuhan minyak goreng sehari-hari.
Dunia bisnis, memang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Namun, jangan lupa, berbisnis dapat langgeng bila terwujud ketenangan dan kedamaian relasi sosial antara pelaku bisnis serta masyarakat konsumen. Itu artinya urgensi moral dan kemanusiaan tak boleh ditinggalkan. Bisnis mencari untung oke, pertimbangan kepentingan moral, kemanusiaan harus! demi kelanggengan dan kelangsungan bisnis. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.