Oleh : Miqdad Husein
Ada pertanyaan menggelitik dari seorang nitizen yang relatif waras ketika ramai perbincangan menyambut kedatangan bulan suci ramadan. “Apakah bulan puasa dapat mengekang kebiasaan mereka yang terbiasa menyebar hoax, menebar kebencian, fitnah serta kritik jauh dari proporsional?” tanyanya. Ia tampaknya mengekspresikan kegelisaannya ketika relatif lama menyaksikan media sosial seperti sesak berbagai kata-kata kasar.Netizen lain memberikan jawaban relatif normatif. Menurutnya, tergantung kualitas puasa yang mereka laksanakan.
Jika mereka berpuasa sungguh-sungguh, akan memberikan pengaruh positif pada kemampuan mengelola emosi sehingga tak gampang lagi meledak-meledak tanpa arah. Bukankah, puasa merupakan instrumen untuk menahan dan mengendalikan diri, katanya lagi.
Jika mencermati anatomi dan tujuan puasa, memang ada benarnya harapan itu. Puasa yang optimal, yang dijalankan sesuai ajaran Islam baik dari fiqih maupun subtansi moralnya, akan mampu memberikan pengaruh positif.
Seseorang tidak akan menyebar fitnah jika puasa sungguh-sungguh. Bukankah puasa mensyaratkan seseorang tidak hanya menahan lapar dan haus, juga keharusan mengendalikan diri dari perbuatan melanggar ajaran Islam, termasuk yang bersifat sosial. Jadi, jika berpuasa sungguh-sungguh tentu tak akan lagi menyebar fitnah. Sebab, fitnah menurut ajaran Islam tergolong perbuatan berkualifikasi dosa besar.Termasuk pula tak akan mengumbar dan menyebar kebencian. Sebab, puasa juga mensyaratkan kemampuan mengendalikan diri agar tidak marah tanpa alasan.
Jika marah saja, yang tak cukup alasan dilarang saat menjalankan puasa karena akan menghanguskan pahala puasa, apalagi sengaja menyebar kebencian penuh amarah.Banyak kajian menarik tentang manfaat puasa secara sosial.
Ketika seseorang sungguh-sungguh berpuasa ia, setelah melalui proses pelatihan mengendalikan diri, pada tingkat lebih jauh akan mampu berpikir jernih.
Yang dikedepankan dalam menyampaikan pendapat misalnya atas dasar pemikiran. Bukan emosional. Dalam bahasa ilmiah, obyektivitas yang dikedepankan.Contoh sederhana terkait fenomena aktual ketika merespon kenaikan BBM jenis Pertamax.
Mereka dari sejak awal pemikirannya sudah dipenuhi kebencian. Tak ada paparan obyektif merespon kenaikan Pertamax. Yang dikembangkan persepsi dan sudut pandang sepenuhnya negatif.
Pokoknya, pemerintah gagal, titik. Itu yang berangkat tanpa semangat puasa. Berbeda dengan mereka yang berpikir jernih. Bukan sumpah serapah yang diumbar tapi pemahaman dari proses berpikir setelah mencermati fakta-fakta obyektif mengapa terjadi kenaikan Pertamax. Mereka mengedepankan pemikiran jernih dan memahami bahwa kenaikan Pertamax, merupakan akibat dari situasi perang antara Rusia melawan Ukrania sehingga harga minyak dunia melambung tinggi.
Dampaknya ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Tanpa kecuali. Itu yang telah mampu mengendalikan diri. Lalu, apakah tidak boleh menyampaikan kritik? Sah saja kritik disampaikan sebagai amal ma’ruf nahi munkar. Misalnya, mempertanyakan kepada pemerintah mengapa terjadi kelangkaan Pertalite ketika pemerintah memutuskan kenaikan Pertamax.
Pemerintah didorong dan dituntut bertindak tegas terhadap Pertamina, yang tidak mampu memasok Pertalite. Jadi, pengertian menahan sebagai hasil puasa, tidak berarti membungkam semangat kritis. Berbeda antara menyebar fitnah, kebencian, caci maki dan kritik jauh dari proporsional dengan kritik konstruktif.
Deretan kata-kata pertama, mencerminkan sikap emosional, sikap apriori. Pokoknya pemerintah Jokowi salah. Sementara, kritik konstruktif bertitik tolak dari semangat ingin meluruskan, memberikan dorongan, menegor, mengingatkan dan memberikan solusi cerdas. Jelas perbedaannya. Secara sosial akan sangat besar manfaatnya jika pelaksanaan ibadah puasa mencapai sasaran tujuannya, sebagaimana ditegaskan dalam alquran.
Mereka yang berpuasa akan mampu berpikir jernih dan jauh dari sikap emosional dan apriori. Kritik paling tajampun, jika keluar dari mereka yang telah mampu mengendalikan diri akan terpapar obyektif serta konstruktif. Tentu saja, ini harapan ideal yang dalam pelaksanaannya memang tidak mudah.
Sejak Pilpres 2019, ummat Islam telah tiga kali melaksanakan ibadah puasa. Secara obyektif harus diakui masih banyak perilaku jauh dari semangat menahan diri sejalan nilai pelaksanaan ibadah puasa.
Keterbelahan ummat Islam Indonesia akibat Pilpres 2019 memang sangat luar biasa sehingga sampai kinipun, masih sangat terasa, terutama dalam memandang kekuasaan.Ini pelaksanaan puasa keempat setelah Pilpres 2019. Kita tentu berharap, masyarakat makin sedikit yang masih terperangkap sikap emosional dan makin banyak masyarakat, setelah berpuasa mulai berpikir jernih. Tidak lagi berada dalam keterbelahan, telah menyatu dalam kebersamaan, tanpa kehilangan sikap kritis obyektif dan kontruktif.
Demikian, harapan setiap ramadan datang. Ramadan mampu menjernihkan pemikiran dan menyegarkan nilai spiritual serta pencerahan kemanusiaan sehingga memberikan energi positif pada perjalanan negeri ini.
